Jakarta, Pahami.id —
Pemerintah Korea Utara menghukum dokter yang kedapatan melakukan aborsi di penjara, di tengah penurunan angka kelahiran baru-baru ini.
Pihak berwenang Korea Utara juga telah menyita segala bentuk produk kontrasepsi yang dijual bebas di pasaran.
Radio Gratis Asia (RFA) melaporkan bahwa dua dokter di Korea Utara dipenjara setelah kedapatan diam-diam melakukan aborsi. Hal ini berdasarkan keterangan seorang warga yang bekerja di bidang medis di Provinsi Ryanggang.
Warga tersebut mengatakan kepala departemen kebidanan dan ginekologi di Rumah Sakit Distrik Paegam dijatuhi hukuman lima tahun penjara, setelah persidangan pada 28 Agustus di ruang konferensi sebuah rumah sakit universitas.
Dokter lain dari Rumah Sakit Daerah Unhung juga divonis tiga tahun penjara karena pasiennya meninggal saat melakukan aborsi di rumahnya pada Juni lalu.
“Biasanya dokter obgyn mendatangi rumah ibu hamil untuk melakukan aborsi agar tidak meninggalkan jejak. Namun kedua dokter ini melakukan praktik aborsi di rumahnya sendiri,” kata warga.
Aborsi merupakan tindakan ilegal di Korea Utara sejak dua juta orang meninggal karena kelaparan pada tahun 1990an.
Praktik ini juga semakin dilarang setelah Korea Utara dilanda badai resesi seksual selama 10 tahun terakhir, di mana angka kelahiran hanya berkisar 1,81 kelahiran per perempuan pada tahun 2021. Jumlah kelahiran yang dibutuhkan untuk menstabilkan populasi adalah 2,1.
Meski begitu, sejumlah dokter di Korea Utara tetap melakukan aborsi secara sembunyi-sembunyi karena tidak puas dengan rendahnya gaji pemerintah.
Menurut sumber RFA, dokter mengenakan biaya sekitar 30.000 won atau Rp 345 ribu untuk sekali aborsi. Jumlah tersebut cukup untuk membeli 4,5 kilogram beras dan merupakan rata-rata gaji bulanan seorang pekerja di Korea Utara yang tidak cukup untuk menutupi biaya hidup.
“Beberapa hari mereka melakukan hingga tiga kali operasi dalam sehari,” kata warga yang tidak diketahui identitasnya.
Korea Utara telah berupaya menaikkan gaji bulanan dokter lebih dari 40 kali lipat dari 80.000 won (setara Rp 920 ribu) menjadi 180.000 won (setara Rp 2 juta).
Namun, banyak dokter yang memilih melanjutkan praktik ilegal ini untuk meningkatkan pendapatannya.
Terkait resesi seksual sendiri, pemerintahan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong Un sebenarnya sudah berupaya mengatasinya dengan menerapkan kebijakan yang memberikan bantuan kepada keluarga dengan banyak anak.
Bantuan tersebut meliputi pemberian makanan tambahan bagi keluarga dengan empat anak atau lebih, serta penyediaan rumah baru bagi keluarga dengan enam anak atau lebih.
Namun, resesi seksual terus berlanjut selama 10 tahun terakhir, dan yang terburuk terjadi selama epidemi. Oleh karena itu, mulai tahun 2023, penjualan pil dan alat kontrasepsi dilarang oleh pemerintah Korea Utara.
Penjual pil dan alat kontrasepsi disita dagangannya
Warga Ryanggang lainnya juga mengatakan kepada RFA bahwa pengedar alat kontrasepsi yang kedapatan menjual produk kontrasepsi tersebut “dihukum secara massal” oleh pemerintah.
“Dalam 22 bulan terakhir, tiga pedagang yang menjual perencana di pasar Hyesan disita kiosnya. Masing-masing juga didenda 300.000 won (setara Rp3,4 juta),” ujarnya.
“Pada akhir Juli lalu, dua pedagang yang menjual pil kontrasepsi buatan China di pasar Hyesan juga disita dari kiosnya,” lanjutnya.
Tak hanya disita dan didenda, pedagang juga dilarang menjual kembali ke pasar atau membuka usaha.
(blq/dna)