Site icon Pahami

Berita Perubahan Iklim Perparah Siklus Banjir Tahunan di Pakistan

Berita Perubahan Iklim Perparah Siklus Banjir Tahunan di Pakistan


Jakarta, Pahami.id

Kota besar Pakistan Terendam banjir setiap musim hujan sudah menjadi rutinitas tahunan.

Bagi warga Karachi, Lahore, Sialkot, Faisalabad dan banyak kota lainnya, datangnya hujan bukan membawa berkah, melainkan ketakutan. Jalan berubah menjadi sungai, rumah terendam, dan aktivitas masyarakat lumpuh.

Para ahli telah lama memperingatkan bahwa kota-kota di Pakistan rentan terhadap banjir karena buruknya tata kelola dan perencanaan kota, terutama dalam sistem drainase. Sebuah diskusi yang diadakan oleh Urban Resource Center (URC) pada tanggal 16 September menegaskan bahwa kesalahan sistemik ini kini telah mencapai titik krisis di tengah perubahan iklim yang ekstrim.


Proyek jalan, perumahan dan komersial berkembang di lahan mana pun tanpa memandang arah aliran air. Lahan murah di saluran drainase alami berubah menjadi kawasan padat, menyebabkan saluran air tersumbat dan dataran rendah berubah menjadi danau setiap kali hujan.

Profesor Noman Ahmed dari Universitas Ned menggambarkan situasi yang tidak masuk akal ini: saluran air tetap kering sementara lingkungan sekitar terendam, karena saluran air diblokir oleh bangunan baru. Dia mencontohkan kejadian pada 19 Agustus lalu, saat kendaraan pengisap air di jalan utama Karachi, Sharea Faisal, justru mogok karena mesinnya kemasukan air.

Arsitek dan pakar tata kota Arif Hasan menilai akar permasalahan terletak pada pembangunan tidak terencana yang mengabaikan hukum alam. Air dari utara dan perbukitan yang seharusnya mengalir ke laut kini terhalang oleh bangunan komersial dan perumahan.

“Anda tidak bisa menantang alam seperti itu,” kata Hasan, yang menyoroti lemahnya peran pemerintah kota dan dominasi pengembang yang mencari keuntungan.

Sebuah kota ‘tersedak airnya sendiri’

Survei URC pada tahun 2020 menunjukkan situasi yang mengerikan: Dari 34 saluran kecil yang bermuara di Kanal Utama Mahmoodabad, 30 saluran tersumbat, sedangkan dari 18 saluran utama hanya empat yang masih berfungsi. Dengan tingkat penyumbatan tersebut, air hujan tidak mungkin bisa mengalir ke sungai atau laut.

Masalah ini diperburuk dengan kepadatan bangunan. Air dari atap sekitar 2,7 juta rumah mengalir langsung ke jalan tanpa sistem drainase yang memadai. Akibatnya, kanal-kanal meluap, ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal, dan upaya pembongkaran paksa di sepanjang kanal Gujjar, Orangi, dan Mahmoodabad tidak menyelesaikan masalah.

Perubahan iklim memperburuk situasi ini. Curah hujan di Karachi, Lahore dan Sialkot tahun ini melebihi rata-rata historis. Daerah dataran rendah langsung tenggelam, warga panik menyelamatkan harta bendanya, dan kota kembali lumpuh. Kombinasi curah hujan ekstrem dan penyumbatan drainase menciptakan siklus tahunan yang mematikan.

Sungai Sutlej dan Ravi juga meluap ke kawasan pemukiman, sehingga memperluas kerusakan. Ketidakpastian iklim memperdalam kerentanan kota-kota yang sejak awal dibangun berdasarkan tata kelola yang rapuh.

Di balik setiap foto jalan yang terendam banjir, ada penderitaan yang nyata. Pekerja harian kehilangan pendapatan, anak-anak tidak dapat bersekolah, dan banyak keluarga kehilangan rumah serta harta benda yang telah mereka kumpulkan selama bertahun-tahun. Air yang tergenang menjadi tempat berkembang biaknya penyakit, memicu wabah demam dan infeksi kulit.

Bagi jutaan orang, musim hujan telah berubah menjadi musim penderitaan. Dampak psikologisnya sangat parah: warga hidup dalam ketakutan saat langit mendung. Banyak keluarga terpaksa mengungsi atau bertahan hidup, sementara pemerintah hanya menjanjikan janji tanpa solusi jangka panjang.

Krisis Pemerintahan

Hal yang paling bermasalah mengenai krisis ini adalah sifatnya yang dapat diprediksi. Para perencana kota telah lama memperingatkan akan adanya penyumbatan drainase dan pembangunan yang mengerikan, namun pemerintah hanya menanggapinya dengan proyek pembersihan dan perbaikan sementara.

“Air hujan seharusnya mengalir ke sungai atau laut melalui sistem drainase, namun di banyak kota sistem ini tidak ada, rusak, atau sengaja ditutup,” kata Profesor Ahmed.

Akibatnya, setiap tahun Pakistan menghadapi pola yang sama: jalan-jalan terendam banjir, orang-orang mengungsi, dan kerugian ekonomi terus meningkat.

Banjir perkotaan di Pakistan bukan hanya sebuah bencana lingkungan, namun merupakan cerminan kegagalan pemerintahan.

Kurangnya perencanaan jangka panjang, akuntabilitas yang buruk dan pengabaian terhadap sistem alam membuat kota-kota di Pakistan hampir runtuh setiap kali hujan turun.

Pemerintah Pakistan cenderung reaktif, bukan preventif. Setiap musim hujan, para pejabat datang untuk memeriksa lokasi banjir, mengeluarkan pernyataan keprihatinan, lalu menjanjikan “strategi komprehensif” yang tidak pernah terwujud.

Sementara itu, pengembang terus membangun saluran air alami, menjaga saluran tetap tersumbat, dan warga bersiap menghadapi siklus banjir berikutnya.

(DNA)


Exit mobile version