Jakarta, Pahami.id —
Sejumlah pengamat dari Filipina Dan Malaysia menyoroti pernyataan bersama antara Indonesia dan China yang memicu perdebatan mengenai perselisihan tersebut Laut Cina Selatan (LCS).
Jay Batongbacal, guru besar hukum internasional dari Universitas Filipina, mengatakan pernyataan bersama Republik Indonesia (RI) dan Tiongkok mengejutkan negaranya karena menunjukkan bahwa RI secara implisit mengakui adanya tumpang tindih klaim dengan Tiongkok.
“Sungguh mengejutkan bila kita melihat Indonesia secara tidak langsung mengakui adanya tumpang tindih zona maritim atau klaim maritim antara Indonesia dan Tiongkok karena ini merupakan bagian dari pernyataan bersama dengan Tiongkok,” kata Jay dalam diskusi bertajuk ‘Menanggapi Perkembangan Baru di Selatan. Laut Cina’ yang digelar Asosiasi Dosen ISIL, Kamis (14/11).
Jay mengatakan frasa “klaim yang tumpang tindih” yang digunakan dalam pernyataan bersama tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menganggap dirinya sedang berselisih dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan. Faktanya, RI tidak pernah mengakui adanya sengketa maritim dengan China.
Selain itu, Jay juga menyoroti pernyataan Kementerian Luar Negeri RI yang menjelaskan posisi Indonesia terkait klaim sembilan garis putus-putus Beijing. Menurut dia, penjelasan tersebut tidak sejalan dengan pernyataan bersama kedua negara.
“Jadi reaksi saya soal itu, maksudnya apa? Maksudnya kalau Indonesia dan China bicara soal tumpang tindih zona maritim, yang mereka bicarakan adalah tumpang tindih negara lain, maksudnya negara selain Indonesia?” kata Jay.
“Kalau benar, aneh karena pernyataan itu seharusnya hanya mengenai China dan Indonesia. Mereka (Indonesia dan China) tidak bisa berkomentar langsung atas tumpang tindih klaim negara lain,” lanjutnya.
Jay melanjutkan pernyataan Indonesia dan Amerika Serikat terkait kepatuhan terhadap Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), juga membuat pernyataan RI-China terlihat ambigu. Sebab, hal tersebut tidak sejalan dengan komitmen kerja sama Tiongkok-Indonesia di bidang sengketa LCS dalam pernyataan bersama tersebut.
Lebih dari itu, Jay mengingatkan pernyataan bersama Indonesia-China dapat merugikan Indonesia karena berpotensi melegitimasi China untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya di Laut Natuna Utara sebagai wilayah yang diklaim China masuk dalam sembilan garis putus-putus.
“China akan menggunakan sebagian dari pernyataan bersama tersebut untuk mendorong Indonesia lebih jauh, terutama klaimnya atas hak penangkapan ikan tradisional, tidak hanya di Laut Natuna Utara, tetapi juga jauh di perairan kepulauan Indonesia,” kata Jay.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara tumpang tindih dengan klaim teritorial Tiongkok di sembilan garis putus-putus. Indonesia selalu menekankan bahwa klaim sembilan garis putus-putus Beijing tidak valid.
Di saat yang sama, Indonesia selalu menghalau kapal-kapal Tiongkok yang melewati kawasan tersebut. Sikap tegas Indonesia terkait ZEE di Laut Natuna Utara memperkuat posisi Indonesia yang tidak mengakui sembilan garis putus-putus Tiongkok.
Dalam kesempatan yang sama, dosen hukum Universiti Kebangsaan Malaysia, Salawati Mat Basir, juga menekankan implikasi pernyataan bersama antara Indonesia dan China di kawasan Laut Cina Selatan.
Salawati mengatakan, pernyataan bersama tersebut pada dasarnya tidak bermasalah karena merupakan langkah diplomasi untuk menunjukkan persahabatan. Meski begitu, menurutnya, Indonesia harus terus waspada karena Tiongkok sudah lama berupaya untuk menghentikan perihal Code of Conduct di Laut Cina Selatan.
Kode Etik di Laut Cina Selatan merupakan upaya ASEAN untuk menekan Tiongkok agar mematuhi UNCLOS. Dokumen pedoman ini telah disusun sejak tahun 2002 namun prosesnya masih terhenti hingga saat ini.
Menurut Salawati, di bawah kepemimpinan Indonesia di ASEAN, RI telah berupaya mendorong perundingan CoC. Namun, di bawah kepemimpinan Laos, dorongan terhadap CoC goyah.
“Ini tidak baik, karena seperti yang kita lihat dari satelit AS, Tiongkok semakin besar di Laut Cina Selatan, semakin agresif, semakin asertif, semakin mencekam, dan kini mereka sedang membangun pulau-pulau yang sangat besar dan mereka ingin memiliki lebih banyak pangkalan militer di wilayah tersebut. Laut Cina Selatan Itu bukan perdamaian.
Poin kesembilan pernyataan bersama Indonesia-China itu banjir kritik. Pasalnya, soal kerja sama maritim menyebutkan bahwa kedua negara “mencapai kesepahaman penting mengenai pembangunan bersama di wilayah yang tumpang tindih klaimnya”.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengakui klaim sepihak Tiongkok atas sembilan garis putus-putus.
Padahal, klaim tersebut mengganggu kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.
(blq/dna)