Daftar isi
Jakarta, Pahami.id —
Indonesia mulai diserang kasus perselisihan Laut Cina Selatan (LCS) pada tahun 2010. Saat itu, salah satu wilayah laut di wilayah Indonesia, yaitu Laut Natuna, menjadi wilayah yang juga diklaim. Cina di wilayah LCS.
Menanggapi tindakan tersebut, Indonesia tentu tidak mau tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan wilayah Indonesia yang diduduki paksa oleh Tiongkok di LCS. Upaya tersebut sudah dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga. Ia berperan dalam mempertahankan Laut Natuna yang diklaim sebagai wilayah China di LCS.
Mengkritik klaim sepihak Tiongkok di LCS
Selama 10 tahun menjabat, Presiden Jokowi tercatat melakukan berbagai upaya untuk terus mempertahankan wilayah Laut Natuna yang diklaim China di Laut China Selatan.
Pada tahun 2015 misalnya, Jokowi mengecam klaim Tiongkok atas Laut Natuna. Ia menilai tindakan tersebut melanggar ketentuan yang ada dalam hukum internasional. Saat itu, Jokowi juga mendesak Tiongkok untuk berdialog dengan negara-negara di sekitar LCS terkait permintaan sepihak tersebut.
“Kita membutuhkan perdamaian dan stabilitas di Kawasan Asia Pasifik. Penting untuk memiliki stabilitas politik dan keamanan untuk membangun pertumbuhan ekonomi kita. Oleh karena itu, kami mendukung Kode Etik (di Laut Cina Selatan) dan dialog antara Tiongkok dan Jepang sebagai serta Tiongkok dan ASEAN, kata Jokowi situs resmi Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.
Pertemuan di atas Laut Natuna
Ketegangan di Laut Cina Selatan antara Indonesia dan Tiongkok memanas pada tahun 2016. Saat itu, kapal perang Imam Bonjol milik TNI Angkatan Laut menembaki kapal ikan Tiongkok Han Tan Cou. Kapal tersebut ditembak karena kedapatan sedang mengambil ikan di Laut Natuna.
Menanggapi tindakan tersebut, pemerintah China langsung melontarkan protes keras kepada Indonesia. Negara Tirai Bambu tidak terima kapal nelayan asal negaranya ditembak sembarangan oleh tentara Indonesia. Sebab, saat itu China menganggap Laut Natuna sebagai bagian wilayah teritorialnya.
Ketegangan ini pula yang mendorong Presiden Jokowi menggelar pertemuan di kapal Imam Bonjol yang sedang berlayar di Laut Natuna. Pertemuan ini digelar untuk membahas respons Indonesia terhadap protes China yang tidak terima kapal nelayannya ditembak TNI.
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi juga memerintahkan TNI dan Badan Keamanan Laut untuk memperketat keamanan laut.
“Patroli dan keamanan maritim harus ditingkatkan. Agar saudara-saudara kita di perbatasan, wilayah terluar, dan pulau-pulau terluar Indonesia bisa maju bersama saudara-saudara lainnya di negeri ini,” kata Jokowi melalui media sosialnya usai memimpin rapat di KRI Imam Tonjolan.
Patroli Laut Natuna
Jokowi juga mengerahkan personel militer, jet tempur, dan kapal perang untuk berpatroli di Laut Natuna secara besar-besaran. Pada awal tahun 2020 misalnya, TNI mengerahkan 4 jet F-16 dan enam kapal perang ke perairan Natuna untuk melakukan patroli.
Pengamat menilai kebijakan tersebut merupakan wujud keseriusan Jokowi dalam menjaga kedaulatan Indonesia di Laut Natuna. Sebab, Jokowi tidak ingin sejengkal pun wilayah negaranya jatuh ke tangan asing.
Memperkuat keamanan di Laut Natuna
Jangan setengah hati. Pada tahun 2022, Jokowi menghabiskan sekitar Rp 12,2 triliun untuk memperkuat keamanan di Laut Natuna.
Pemerintah menyatakan anggaran tersebut digunakan untuk memenuhi kecukupan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI Angkatan Laut di Natuna yakni sebesar 40,59 persen. Anggaran tersebut juga digunakan untuk memenuhi kecukupan alat keselamatan laut (alpakamla) Bakamla sebesar 44,17 persen.
“Anggota Parlemen [Red: Major Project/ Proyek Prioritas Strategis] Penguatan Keamanan Maritim di Natuna diharapkan dapat meningkatkan efek jera dan menegakkan kedaulatan di Perairan Natuna; mengurangi pembajakan; terorisme dan kejahatan di laut; penangkapan ikan secara ilegal; serta kejahatan transnasional.
“Dari segi pembiayaan, pelaksanaan MP dibiayai dari APBN dengan indikasi pendanaan selama lima tahun sebesar Rp12,2 triliun,” demikian keterangan pemerintah, seperti dilansir dalam lampiran Perpres No. 85 Tahun 2021.
Tidak cukup untuk memitigasi tindakan Tiongkok
Rangkaian kebijakan Presiden Jokowi untuk mengurangi klaim Tiongkok atas Laut Natuna di Laut Cina Selatan mendapat tanggapan beragam dari para pengamat.
Peneliti Senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, misalnya, menilai segala upaya yang dilakukan Jokowi tidak akan berpengaruh dalam mencegah agresi China yang kerap mengklaim perairan tersebut.
Menurut Evan, strategi militer seperti itu tidak berhasil. Apalagi pemerintah hanya menerapkannya ketika terjadi krisis. Ia menilai pengerahan pasukan TNI ke Natuna Utara hanya bersifat sementara dan tidak bisa mencegah krisis serupa di kemudian hari.
“Secara teori, kebijakan ini baik untuk kepentingan sipil dalam negeri, namun tidak menyelesaikan tantangan strategis yang dihadapi Indonesia dari Tiongkok di Natuna Utara,” kata Evan.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah Indonesia perlu mulai memperluas pilihan strategisnya dalam mencari solusi dengan China, khususnya terkait klaimnya atas Laut Natuna Utara.
“Indonesia harus segera mempertimbangkan pilihan strategis yang lebih luas, tidak hanya melalui diplomasi, tetapi juga posisi strategisnya, termasuk mengoordinasikan posisi strategis seluruh instrumen nasional terkait ketika terjadi krisis,” tambah Evan.
(gas/bac)