Site icon Pahami

Berita Pakar Prediksi Nasib RI saat AS di Bawah Pemerintahan Trump

Jakarta, Pahami.id

Donald Trump resmi menjadi Presiden Amerika Serikat pada Senin (20/1).

Ini merupakan babak baru hubungan Paman Sam dengan negara lain termasuk Indonesia.

Pada periode pertama pemerintahan Trump tahun 2017-2021, hubungan perdagangan antara AS dan Indonesia meningkat rata-rata sebesar 6,85 persen.


Namun Indonesia kini ikut serta dalam forum ekonomi yang dipimpin Rusia-China, BRICS. Trump mengancam akan menaikkan tarif impor ke 100 persen negara anggota organisasi tersebut.

Lalu bagaimana nasib hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump?

Pakar kajian politik dan hubungan internasional dari Murdoch University, Ian Wilson menilai akan ada perbedaan signifikan dalam hubungan AS dan Indonesia di bawah Trump.

“Pasti beda. Mungkin beda jauh. Trump orangnya ekstrem,” kata Ian saat dihubungi CNNIndonesia.comSenin (20/1) malam waktu setempat.

Ia kemudian mengatakan, “Pemerintahan Trump akan fokus pada kepentingannya dan tidak akan memprioritaskan Indonesia atau kawasan ASEAN.”

Penilaian tersebut tercermin dari calon Menteri Pertahanan Trump, Peter Hegseth, yang tidak mengenal negara-negara ASEAN.

Pekan lalu, video tes kelayakan Hegseth menjadi Menteri Pertahanan viral di media sosial. Saat itu, Senator Tammy Duckworth menanyakan tentang Indo-Pasifik dan memintanya menyebutkan salah satu negara di ASEAN dan jenis perjanjiannya.

Namun, Hegseth belum bisa menyebutkan jumlah negara di ASEAN. Ia justru mengatakan AS memiliki sekutu di Korea Selatan, Jepang, dan AUKUS.

Sebelum dilantik, Trump berbicara dengan Presiden Indonesia Prabowo Subianto melalui telepon. Mereka terlihat ramah dan ceria.

Namun, kata Ian, pembicaraan tersebut tidak bisa menjadi tolok ukur untuk menentukan arah hubungan kedua negara.

“Trump dan Prabowo sama-sama patut dikagumi, dan sama-sama menyukai gaya pemimpin yang ‘kuat’. Isi percakapannya adalah saling mengagumi. Hal itu mungkin bisa dianggap sebagai sinyal positif, dalam artian tidak terlihat seperti hubungan personal antara keduanya. dua itu bagus, kata Ian.

Kembali ke persoalan hubungan AS-Indonesia, Pengamat politik Asia Tenggara Universitas Diponegoro Aniello Iannone juga mengatakan, hubungan kedua negara akan berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

“Dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, kemungkinan besar hubungan Indonesia-AS akan berkembang berbeda dibandingkan era sebelumnya,” kata Iannone.

Trump, lanjutnya, akan fokus pada America First dan pendekatan transaksional dalam hubungan internasional. Pada pemerintahan sebelumnya, politisi Partai Republik lebih mementingkan perekonomian dan stabilitas negara.

“Trump cenderung memandang negara-negara mitra melalui kacamata ekonomi jangka pendek dan nilai strategis yang dapat mereka berikan kepada AS,” kata Iannone.

Kedua pengamat tersebut juga menekankan dampak hubungan Indonesia dan AS setelah Jakarta resmi bergabung dengan BRICS.

Bersambung di halaman berikutnya…

Iannone melihat keputusan Indonesia untuk bergabung dengan organisasi tersebut sebagai titik balik penting dalam kebijakan luar negeri negara tersebut.

“Langkah ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan tradisional non-intervensi dan netralitas ke arah yang lebih tegas dengan bergabung dengan blok politik dan ekonomi yang secara terbuka menantang dominasi Barat,” ujarnya.

BRICS merupakan forum ekonomi yang beranggotakan 11 negara termasuk Indonesia.

Iannone melihat BRICS sebagai proyek geopolitik yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali keseimbangan global.

Menurutnya, keanggotaan Indonesia dalam BRICS menegaskan misi tersebut dan mencerminkan kesadaran besar akan peran strategis Indonesia sebagai kekuatan menengah.

Meski demikian, Iannone berpandangan Indonesia tidak lagi menjadi mitra regional subordinat bagi AS.

Dengan keanggotaannya di BRICS, Iannone juga yakin bahwa Indonesia menunjukkan ambisi untuk mendiversifikasi aliansi dan mengurangi ketergantungan pada lembaga-lembaga yang didominasi Barat.

“Dengan bergabung dengan BRICS, Indonesia mengirimkan pesan bahwa negara ini bertekad untuk menantang tatanan unipolar yang didominasi Amerika, meskipun risiko menjadi subordinat dari para pemimpin baru blok ini, seperti Tiongkok dan Rusia, masih tetap ada,” ujarnya. dikatakan.

Ancaman perang dagang Trump dengan China juga berdampak pada Indonesia.

RI tidak akan terkena dampak langsung, namun negara ini mempunyai hubungan dekat dengan Negara Tirai Bambu.

Tiongkok adalah mitra dagang utama Indonesia. Jika perang dagang AS-China benar-benar terjadi, Indonesia akan kebanjiran produk impor China. Hal ini dapat mematikan industri dalam negeri.

Para pengamat melihat dampak perang dagang China-AS terhadap Indonesia bergantung pada negosiasinya.

Ian menduga ancaman Trump untuk mengenakan tarif tinggi adalah untuk negosiasi perdagangan dan alat untuk mengganggu BRICS.

Jadi, tergantung beberapa faktor apakah Indonesia akan dikenakan tarif oleh pemerintahan Trump, ujarnya.

Nasib Palestina

Hubungan Indonesia dan Amerika tidak lepas dari permasalahan Palestina.

Selama ini Indonesia mendukung dan ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Palestina, namun AS justru sebaliknya.

Di bawah pemerintahan Biden, AS mendukung penuh agresi Israel terhadap Palestina, mentransfer senjata, dan bahkan mengizinkan genosida di sana.

Namun dukungan AS terhadap Israel belum memberikan dampak signifikan terhadap hubungan Indonesia dan Negeri Paman Sam.

“Dukungan AS terhadap Israel akan semakin ekstrim di bawah Trump. Apakah ini akan menjadi masalah diplomasi antara Indonesia dan AS tergantung sikap pemerintah Indonesia,” kata Ian.

Baru-baru ini, Trump dikabarkan berencana merelokasi sebagian dari dua juta penduduk Gaza ke Indonesia sebagai bagian dari rekonstruksi Gaza. Namun Kementerian Luar Negeri RI menolak usulan tersebut.

Indonesia menganggap pemindahan warga Palestina dari tanah airnya sebagai perpanjangan pendudukan di Israel.

Usulan Trump untuk memindahkan warga Gaza ke Indonesia tidak akan menguntungkan hubungan kedua negara, menurut Iannone.

“Usulan Trump untuk memindahkan warga Gaza ke Indonesia mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap kebijakan dan undang-undang Indonesia mengenai pengungsi,” ujarnya.

Iannone juga mencatat bahwa menerima pengungsi dalam jumlah besar tanpa sistem dukungan yang memadai dapat memperburuk masalah sosial dan politik di negara tersebut.

Secara historis, Indonesia tidak mempunyai catatan yang memadai dalam menangani pengungsi, seperti yang terlihat pada kasus pengungsi Rohingya dan Afghanistan.

“Salah satu kendalanya adalah belum adanya aturan yang jelas dan sistematis mengenai status dan penanganan pengungsi di Indonesia,” ujarnya.



Exit mobile version