Pakar politik, sejarah dan budaya Indonesia dari Australia Maxe Lane menjelaskan munculnya dinasti baru di Tanah Air setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lengser dari kursi presiden.
Penilaiannya tertuang dalam artikel Poros Kembar dalam Politik Indonesia: Ambisi Pribadi Elit dan Keterasingan Masyarakat Sipil di situs Fulcrum pada 19 Januari. Situs web ini berafiliasi dengan ISEAS-Institut Yusof Ishak.
“Proses penyatuan pandangan politik yang homogen selama 20 tahun di antara partai-partai penguasa pemilu di Indonesia telah memfasilitasi kehidupan politik yang didominasi oleh persaingan dan ambisi pribadi, serta membuka jalan bagi terbangunnya dinasti,” menurut Lane dalam tulisannya.
Lane juga menulis bahwa pemilihan presiden mendapat banyak perhatian selama 20 tahun terakhir.
Pilpres di Indonesia kali ini, lanjutnya, menjadi sorotan karena isu membangun dinasti politik muncul akibat intrik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kekuasaan diraih Jokowi melalui putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto.
Putra terakhir Jokowi, Kaesang Pangarep, juga merupakan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai tersebut juga mendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
PSI juga mendukung Jokowi-Maruf Amin pada Pilpres 2019.
Lane juga menulis, Jokowi dianggap memanfaatkan lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Langkah ini memicu tuduhan terhadap Widodo [Jokowi] “akan kembali ke cara Orde Baru dan terutama politik nepotisme,” ujarnya.
Lane kemudian menjelaskan, fenomena munculnya dinasti politik merupakan puncak dari dinamika yang terjadi dalam politik arus utama selama dua dekade.
Sejak tahun 1998 hingga 2002, terjadi perselisihan politik mengenai karakter Indonesia setelah Soeharto lengser.
Pada tahun 1998-1999, BJ Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto. Kemudian pada tahun 1999-2001, Indonesia dipimpin oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Mereka membahas beberapa reformasi yang telah memberikan kebebasan signifikan terhadap kehidupan politik.
Reformasi tersebut antara lain mengakui hak-hak serikat pekerja yang sebelumnya ditindas oleh Orde Baru, mencabut larangan penyebaran Marxisme-Leninisme, dan mendukung gagasan sistem pasar bebas.
Beberapa gagasan reformasi Gus Dur diterima oleh elite politik, namun gagasan lainnya ditentang. Partai mayoritas di parlemen kemudian bergerak untuk menggulingkannya.
“Sejak saat itu, seluruh politik elektoral berada di tangan mayoritas parlemen, meski komposisi pastinya telah berubah,” kata Lane.
Ia kemudian mengatakan, “Ketika mayoritas anggota parlemen ini bersatu, maka akan ada kesamaan pandangan mengenai pembangunan ekonomi, sosial dan politik.”
Perspektif ini ditandai dengan kepuasan terhadap status quo politik saat ini serta dukungan negara dan oligarki.
Lane juga menjelaskan, selama hampir 20 tahun, parlemen tidak menunjukkan perpecahan, kontroversi atau perdebatan yang terpolarisasi, bahkan perdebatan yang memicu kontroversi di masyarakat.
Dengan terkonsolidasinya homogenitas pandangan tersebut, Lane menilai dinamika antar partai semakin didominasi oleh persaingan dan ambisi pribadi.
Tokoh seperti Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono meninggalkan habitat asli Golkar atau tentara Orde Baru untuk mendirikan partai sebagai kendaraan pribadi, ujarnya.
PDIP setelah tahun 1998 kemudian menjadi kendaraan Megawati Soeuarnoputri. Perpecahan PKB yang menyingkirkan Gus Dur menjadikan PKB sebagai wadah bagi Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden Anies Baswedan pada Pilpres kali ini.
Bersambung di halaman berikutnya…
!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);
fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);