Kasus intimidasi (Bullying) Dalam dunia pendidikan hal itu sering terjadi. Tak sedikit pula yang berakhir dengan kematian.
Korban berasal dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dan mengalami kekerasan fisik dan psikis dari teman sebayanya.
Cnnindonesia.com telah merangkum beberapa kasus bullying fatal yang terjadi di dunia pendidikan sejak tahun 2023.
2023
Sekolah Dasar di Kota Medan
Ibrahim Hamdi (8) Alias Baim, siswa kelas 1 SD di Kota Medan meninggal dunia setelah diduga di-bully oleh lima kakak kelasnya.
Yusraini, ibu korban, menjelaskan, putranya menjadi korban perundungan pada 22 Juni 2023. Saat itu, Baim tiba-tiba menangis saat baru pulang sekolah.
Pasca kejadian tersebut, Baim mengalami demam dan sering menangis ketakutan. Kesehatan Baim terus menurun.
Belakangan, Baim dirujuk ke RS Dr Pirngadi Medan untuk mendapat perawatan. Namun nyawa Baim tak tertolong. Dia meninggal di rumah sakit.
SDN di Tambun Selatan
Seorang siswa berinisial F asal Sekolah Rendah Negeri (SDN) di Tambun Selatan, Bekasi, yang diduga menjadi korban perundungan, meninggal dunia, Kamis 7 Desember 2023.
F diduga menjadi korban perundungan yang dilakukan teman-temannya di sekolah di Tambun Selatan.
Kejadian itu bermula saat salah satu temannya menjegalnya saat jam istirahat pada Februari 2023.
F diajak sekitar lima temannya untuk membeli jajanan di dekat kantin sekolah. Saat berjalan, salah satu temannya terpeleset di kaki F dan terjatuh tengkurap sehingga melukai lutut dan tangan F.
Akibatnya, kaki F terluka dan terinfeksi. Kondisi kaki F kemudian semakin parah dan dokter mendiagnosis kaki F menderita kanker tulang dan kaki kirinya harus diamputasi.
2024
Jayamukti Supa Sdn
Aro (9), siswa kelas 3 SDN Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Siman, meninggal karena di-bully oleh kakak kelasnya. Dia koma di rumah sakit sebelum meninggal.
Kasus tersebut terungkap setelah pihak keluarga melihat kondisi korban yang mengeluh sakit perut dan kepala. Korban beberapa kali muntah-muntah dan kesulitan membuka kelopak mata serta berjalan sehingga korban dilarikan ke RSUD Ciereng.
Kondisi korban semakin parah bahkan sempat koma saat berada di rumah sakit. Setelah 6 hari dirawat, korban meninggal dunia pada Senin 25 November 2024. Berdasarkan informasi pihak rumah sakit, korban mengalami kematian batang otak dan tidak dapat diselamatkan.
Polisi kemudian membawa jenazah korban ke RS Bhayangkara Losarang Indramayu untuk diautopsi guna mengungkap penyebab kematian korban. Dengan begitu, polisi memeriksa beberapa saksi termasuk tiga orang tua korban kelas 4 dan 5 berinisial M, D, dan O yang diduga sebagai pelaku intimidasi.
SD di Kecamatan Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur
ARS (12), siswa kelas 6 SD di Kecamatan Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur meninggal dunia setelah ditolak teman sekolahnya. Ia didiagnosis mengalami robekan di perutnya, khususnya pankreas.
Chresa Sulisiana (35), ibu korban mengatakan, kejadian tersebut bermula saat anaknya mengalami perilaku bullying pada 19 Februari 2024.
Saat itu, korban berusaha menghindar saat diajak bercanda dengan terduga pelaku. Ia berlari, namun kemudian didorong oleh pelaku. Jenazah korban kemudian terjatuh di sudut tangga keramik menuju sekolah.
Kondisi korban semakin parah hingga ARS dirujuk ke RSUD Dr Soetomo, Surabaya, 23 Februari 2024. Dokter juga mendiagnosis pankreas korban robek dan tidak bisa berfungsi dengan baik.
Setelah 17 hari dirawat di RSUD Dr Soetomo, Ars menghembuskan nafas terakhir pada pukul 19.22 Wib, Senin 11 Maret 2024.
PPDS Universitas Diponegoro
Aulia Risma Lestari ditemukan tewas di kamar asramanya pada 12 Agustus 2024. Aulia diduga mengakhiri hidupnya akibat perundungan dan pemerasan dari seniornya.
Perkembangan terakhir pada Jumat 3 November 2024, tiga terdakwa kasus pemerasan terhadap Program Pendidikan Dokter Universitas Diponegoro (UNDIP) Program Pendidikan Dokter (PPDS) Diponegoro (UNDIP) Dr. Aulia Risma divonis lebih ringan dari dakwaan.
Terdakwa pertama Zara Yupita Azra dari Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi (PPD) Universitas Diponegoro Semarang divonis 9 bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang hanya 1,5 tahun penjara.
Selanjutnya, terdakwa kedua Ketua Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Taufik Eko Nugroho divonis 2 tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa 3 tahun penjara.
Sementara itu, Sri Maryani, staf administrasi Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip Semarang yang ditugaskan menerima uang jaminan biaya operasional pendidikan dari PPD residen untuk berbagai tim, divonis 9 bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa.

