Site icon Pahami

Berita Nomor Urut Paslon Tak Beri Pengaruh, Gimik Politik Lebih Dominan


Jakarta, Pahami.id

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah di seluruh Indonesia pernah mengadakan pengundian nomor seri pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang akan bertarung pada Pilkada Provinsi 2024.

Di Jakarta misalnya, pasangan Ridwan Kamil-Suswono mendapat nomor urut satu (1), lalu pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana mendapat nomor urut dua (2), dan pasangan Pramono Anung-Rano Karno alias Si Doel mendapat nomor urut. tiga (3).

Kemudian di Jawa Timur, pasangan petahana Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak mendapat nomor urut dua (2), pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta mendapat nomor urut tiga (3), dan pasangan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim mendapat nomor urut satu ( 1) .


Selanjutnya di Sumut, pasangan Bobby Nasution-Surya mendapat nomor satu (1) dan pasangan Edy Rahmayadi-Hasran Basri Sagala mendapat nomor dua (2).


Nomor urut tersebut biasanya juga akan menjadi jargon atau slogan dan simbol pada saat kampanye hingga menjadi identitas kandidat.

Lantas, apakah nomor urut pasangan calon berpengaruh dalam menarik pemilih dan meraih suara pada Pemilu Serentak?

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan jumlah calon tidak berpengaruh. Padahal, kata dia, nomor urut itu hanya sekedar penanda di kertas suara.

Dedi mengatakan, dari berbagai survei, termasuk yang dilakukan IPO, belum pernah ada bukti konkrit mengenai pengaruh nomor urut terhadap pasangan calon pemenang.

Jadi hanya terkait untuk memudahkan masyarakat dalam menentukan pilihan. Kalaupun tidak ada nomor urut, karena kita memilih langsung di pemilu, cukup orang asli dan foto, kata Dedi saat dihubungi. CNNIndonesia.comSenin (23/9).

Dedi mengatakan, salah satu fokus utama dalam perhelatan Pilkada adalah popularitas calon. Oleh karena itu, kalaupun pasangan calon mendapat nomor satu tetapi tidak memiliki popularitas, maka itu tidak ada artinya.

“Dalam catatan pemilukada di Indonesia, tidak ada sosok yang memenangkan persaingan secara tiba-tiba,” ujarnya.

Artinya, tokoh-tokoh baru datang dan kemudian hanya bergantung pada kampanye dalam jangka waktu yang diberikan KPU lalu memenangkan kompetisi yang tidak ada di Indonesia, hampir semuanya menang karena popularitasnya sudah terbangun, katanya.

Dedi mengatakan, nomor urut calon baru akan mempengaruhi kontestasi pemilu legislatif. Sebab, banyak kandidat yang bersaing dalam kontestasi ini.

Oleh karena itu, nomor urut ini dapat memudahkan kandidat dalam mempromosikan dirinya. Selain itu, juga dapat memudahkan pemilih dalam memilih calon terpilihnya.

“Tapi dalam konteks Pilkada saya kira tidak akan banyak pengaruhnya, bahkan tidak akan berpengaruh apa-apa, kecuali hanya sekedar penanda di kertas suara,” ujarnya.

Senada, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan, dalam konteks pilkada, pengaruh nomor urut pasangan calon sangat minim.

Berbeda dengan pemilu presiden dan legislatif yang digelar serentak pada suatu waktu.

“Dalam konteks pilkada dampaknya minimal,” kata Agung.

Namun Agung berpandangan, jika tim (tim) pasangan calon sukses bisa mengolah nomor urut dengan baik, maka bisa berdampak pada perolehan suara.

Oleh karena itu, Agung mengatakan yang diuji dalam hal ini adalah kreativitas masing-masing tim calon.

Karena pada akhirnya tergantung kreativitas para calon dalam mengatur atau mengelola setiap nomor urut yang diberikan kepada mereka, kata Agung.

“Jadi arah strategis dampaknya besar atau kecil tergantung tim atau tim mereka menyikapinya sekreatif mungkin,” lanjutnya.

Menentukan Faktor Kemenangan

Di sisi lain, kata Agung, faktor penentu kemenangan pilkada adalah kepribadian calon.

Sebab, kata dia, yang menjadi tulang punggung adalah catatan kinerja, visi dan misi, serta program yang diusung pasangan calon.

Jadi citranya, lalu programnya dan isu terpenting ketiga yang ada di sekitar mereka, bagaimana pengelolaannya dan bisa menjadi peluru efektif untuk meningkatkan elektabilitas mereka, ujarnya.

Namun, sekali lagi Agung menilai kreativitas tim calon adalah hal yang penting. Alasannya karena banyak pemilih yang merupakan generasi milenial dan generasi Z.

“Kreativitasnya membujuk para pemilih untuk tertarik memilihnya, baik itu di media sosial, baik online, media cetak, elektronik, baik di lapangan, blus, menyelidiki, pintu ke pintu“Untuk itu diperlukan kreativitas sehingga memberikan ‘wow faktor’ yang baik,” tuturnya.

Sementara itu, Dedi juga mengatakan popularitas menjadi kunci kemenangan pasangan calon di Pilkada.

Namun, dia mengingatkan, popularitas tetap perlu dibarengi dengan reputasi pasangan calon. Sebab, jika hanya bergantung pada popularitas, belum tentu kemenangan bisa diraih.

“Popularitas yang reputasinya benar, artinya reputasi itu memang kepala daerah, lalu punya rekam jejak yang bagus, lalu reputasi yang bagus, ini berpeluang menang kalau hanya mengandalkan popularitas tanpa reputasi apa pun, menurut saya itu akan terjadi. juga akan sulit, ” katanya.

Dedi juga mengatakan, para calon pada pilkada kali ini tidak bisa hanya mengandalkan promosi program sepanjang masa kampanye. Hal ini merupakan dampak dari situasi politik yang terjadi pasca pemilu presiden beberapa waktu lalu.

“Saya kira lebih penting melakukan pendekatan personal, walaupun kita hidup di era digital, menurut saya sentuhan personal itu penting, karena pemilih sudah terpecah, pemilih sudah terkooptasi oleh situasi politik. negara. ,” kata Dedi.

“Ini era di mana gimmick politik akan lebih dominan dalam menentukan elektabilitas, dibandingkan promosi program, meski bombastis,” imbuhnya.

(Des/Senin)



Exit mobile version