Jakarta, Pahami.id —
Pemerintah Mesir dipanggil untuk khawatir dan lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Suriah setelah kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Shalam (HTS) mengambil alih pemerintahan setelah menggulingkan rezim Bashar al-Assad.
Mesir telah mendukung pemerintahan Bashar selama 11 tahun terakhir. Kini, mereka khawatir dengan dampak perubahan hubungan kedua negara pasca diambil alih pemerintahan oleh HTS.
“Bagi Mesir, hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran, apalagi mengingat sejarah Ikhwanul Muslimin di negara tersebut,” kata Merissa Khurma, Direktur Program Timur Tengah di think tank Wilson Center, Sabtu (4/1), dilansir. AFP.
Beberapa negara Arab lainnya bergerak cepat untuk berhubungan dengan pemerintah baru di Damaskus, sementara Kairo lebih berhati-hati.
Setelah mendeklarasikan dukungan Mesir terhadap Assad hanya tiga hari sebelum penggulingannya, Menteri Luar Negeri Badr Abdelatty menunggu tiga minggu sebelum menghubungi mitranya dari Suriah dan mendesak pemerintah de facto untuk mempraktikkan “inklusivitas.”
Menteri Luar Negeri Suriah Asaad al-Shibani membenarkan bahwa perundingan telah berlangsung, dan mengatakan kedua negara berbagi peran dalam “mencapai stabilitas dan kemakmuran di kawasan”.
Pada hari Sabtu, sebuah pesawat bantuan Mesir mendarat di bandara Damaskus membawa pengiriman bantuan kemanusiaan pertama dari Kairo sejak penggulingan Assad, kata kementerian luar negeri Mesir.
Beberapa hari setelah penggulingan Assad, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi tidak memberikan komentar tegas.
“Mereka yang mengambil keputusan di Suriah adalah rakyat negara tersebut,” kata Sisi.
“Mereka bisa menghancurkannya atau membangunnya kembali,” katanya pada pertemuan dengan tokoh media yang berhubungan dengan pemerintah.
“Reaksi Mesir sangat hati-hati,” kata Mirette Mabrouk, peneliti senior di Middle East Institute yang berbasis di Washington.
“Ada aktor-aktor non-negara di sini serta kelompok-kelompok Islam yang keduanya merupakan ancaman bagi Mesir.”
Di dalam negeri, Kairo telah bertindak untuk mencegah kemungkinan bahwa peristiwa di Suriah dapat memicu kekacauan di dalam negeri.
Menurut Inisiatif Mesir untuk Hak Pribadi, sebuah kelompok hak asasi manusia, pasukan keamanan menahan 30 warga Suriah yang merayakan jatuhnya Assad, dan tiga di antaranya menghadapi deportasi.
Pihak berwenang juga memperketat pembatasan visa bagi warga Suriah, mengharuskan mereka mendapatkan izin keamanan.
Beberapa jam setelah Assad digulingkan, media pemerintah memuji stabilitas Mesir dalam menghadapi kerusuhan regional.
Media menyiarkan montase yang menggabungkan adegan kerusuhan, latihan militer, dan proyek pembangunan, serta pidato pada tahun 2017 di mana Sisi mengklaim bahwa kekuatan di balik perang di Suriah mungkin mengalihkan perhatian mereka ke Mesir.
“Misi mereka di Suriah telah selesai,” kata Sisi saat itu, seraya menambahkan bahwa “tujuan mereka adalah menjatuhkan negara Mesir.”
Kemarahan dipicu oleh tersebarnya foto pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, yang berpose bersama Mahmoud Fathi, tokoh Ikhwanul Muslimin yang dijatuhi hukuman mati in absensia karena membunuh mantan jaksa Mesir Hisham Barakat.
Pihak berwenang Lebanon juga menangkap aktivis oposisi Mesir Abdul Rahman al-Qaradawi dengan surat perintah Mesir setelah ia merayakan jatuhnya Assad secara online.
Qaradawi menyerukan dimulainya kembali protes Musim Semi Arab tahun 2011 yang menggulingkan presiden Mesir Hosni Mubarak.
Penggulingan Mubarak diikuti oleh pemilu demokratis yang dimenangkan oleh Ikhwanul Muslimin, hingga Sisi mengambil alih kekuasaan pada tahun 2013.
Peta Israel Diam-diam Rebut Golan Saat Kekacauan Suriah (Foto: Pahami.id/Agder Maulana)
|
(tim/dmi)