Jakarta, Pahami.id —
Tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi) membawa 14 bukti surat untuk menjawab permintaan praperadilan Ikatan Pemberantasan Korupsi Indonesia (MAKI) terkait pengusutan kasus dugaan korupsi yang melibatkan tersangka mantan calon legislatif (caleg) PDI Perjuangan (PDIP) Harun Masiku. Puluhan alat bukti diserahkan kepada hakim tunggal di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (19/2).
Ditemui usai persidangan, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, dari puluhan alat bukti yang ada terkait penyidikan terhadap Harun, hanya empat alat bukti.
“Ada 14, tapi yang utama hanya 4 karena bukti dari 5 sampai terakhir hanya putusan praperadilan yang sering kita ‘bertengkar’,” kata Boyamin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Boyamin, belum ada tindakan resmi dari KPK di bawah pimpinan sementara Nawawi Pomolango terkait upaya penangkapan Harun yang berstatus buron. Menurut Boyamin, KPK terakhir memburu Harun pada tahun 2023 dengan Surat Perintah Penyidikan/Penangkapan yang ditandatangani Firli Bahuri yang saat itu menjabat Ketua KPK.
<!–
/4905536/CNN_desktop/cnn_nasional/static_detail
–>
“Ada Sprindik baru tanggal 5 Mei 2023 yang ditandatangani Firli saat masih menjabat Ketua KPK disertai surat perintah penyitaan, tapi perlengkapannya apa saja yang disita? Tidak Baca, hanya surat perintah penyitaan terkait pelaku Harun Masiku, kata Boyamin.
Kemudian surat perintah penangkapan terakhir tertanggal 26 Oktober 2023. Artinya juga tidak ada surat perintah yang dikukuhkan oleh Pak Nawawi Pomolango setelah diangkat menjadi ketua sementara, lanjutnya.
Dalam permohonan praperadilannya, Boyamin berasumsi penyidikan terhadap Harun dihentikan KPK. Terbukti, hingga saat ini Harun belum juga ditemukan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Atas penolakan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengadili secara in-absentia, saya berpendapat KPK menghentikan penyidikan secara materiil sehingga untuk memutusnya diperlukan gugatan praperadilan,” kata Boyamin dalam permohonannya.
KPK sebelumnya menilai, tak ada kebutuhan mendesak untuk mengadili kasus Harun secara inabstiaia atau tanpa kehadiran terdakwa.
Ya (belum mendesak). Penegakan undang-undang tipikor memiliki tujuan antara lain untuk memberikan efek jera bagi pelakunya sehingga tidak hanya sekedar formalitas dalam menyelesaikan suatu perkara, kata Kepala Divisi Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya. , Jumat (5/1).
Secara teori, Ali menjelaskan, persidangan absensi untuk setiap kasus, termasuk suap, bisa dilakukan. Meski demikian, efektivitas penanganan kasus masih perlu dipenuhi.
“Pemberi Tidak “TPPU bisa digugat dan lain-lain, hanya apa yang diberikannya yang dimintai pertanggungjawaban,” kata Ali.
Beda dengan penerimanya, bisa dari terdakwa atau pihak lain, lanjutnya.
Harun harus berhadapan dengan hukum karena diduga menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk diangkat menjadi pengganti Nazarudin Kiemas yang lolos ke DPR namun meninggal dunia.
Ia diduga menyiapkan uang sekitar Rp 850 juta sebagai suap agar bisa berangkat ke Senayan.
(bukan)
!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);
fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);