Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di Komisi III DPR menyepakati RUU tersebut dibawa ke paripuna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I di Komisi III DPR, Kamis (13/11). Rapat dihadiri perwakilan pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Wakil Menteri Hukum Edward Sharif Omar Hiariej atau Eddy Hiariej.
Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurizal mengatakan pimpinan DPR telah menggelar rapat pimpinan dan menjadwalkan pengesahan RKUHAP pada paripurna pada Selasa (18/11)
“Kan sudah tingkat satu. Udah jadi. Tadi juga rapim udah. Dijadwalkan,” kata Cucun di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (17/11).
Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas sejumlah tokoh hingga organisasi nonpemerintah yang concern pada persoalan terkait RKUHAP itu pun bersuara keras. Dalam konferensi pers bersama pada Minggu (16/11), mereka menilai pembahasan RKUHAP masih cacat, baik secara formil maupun materiil, sehingga didesak tak dibahas di tingkat paripurna untuk disahkan jadi undang-undang.
“Jadi kami melihat dari beberapa yang kami sebutkan secara substansi masih sangat bermasalah. Oleh karenanya, kami mendesak kepada Presiden Republik Indonesia untuk mengingatkan legislator, mengingatkan wakil pemerintah yang membahas RUU KUHAP ini untuk kemudian menghentikan proses pembahasannya,” ujar Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana.
Masalah yang dimaksud Arif di antaranya menyoroti proses rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP yang berlangsung pada 12-13 November 2025.
Pada rapat tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan YLBHI, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI.
Sejumlah masukan yang dibacakan dalam rapat panja ini disebut berbeda dengan masukan yang diberikan koalisi.
Selain itu, koalisi juga menyoroti pembahasan RKUHAP yang sangat singkat dan tidak substansial. Pembahasan terbaru disebut tidak menunjukkan perubahan dibandingkan dengan draf pada Juli 2025.
Sementara itu dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I pada pekan lalu, sebanyak delapan atau seluruh fraksi di Komisi III DPR menyetujui RKUHAP segera disahkan menjadi undang-undang dalam paripurna terdekat.
Sebagian fraksi kompak menilai RKUHAP harus segera diperbarui karena sudah berusia 44 tahun sejak kali pertama disahkan pada 1981 era Presiden kedua RI Soeharto.
Ada sejumlah substansi dalam perubahan KUHAP melalui revisi tersebut. Antara lain, penyesuaian hukum acara pidana dengan KUHP baru, perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik dan penuntut, penguatan hak-hak tersangka dan terdakwa, hingga penguatan peran advokat.
“RKUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat baik sebagai tersangka, maupun korban tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang memimpin rapat tersebut.
Habib sebelumnya menargetkan hasil revisi bisa berlaku pada 1 Januari 2026 mendatang. Bersamaan dengan KUHP baru yang sudah lebih dulu disahkan.
Sejak resmi dibahas pada Juni lalu, pembahasan RKUHAP dengan demikian memakan waktu sekitar enam bulan. Usai disetujui semua fraksi, RKUHAP akan dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang sebelum kemudian diberikan kepada pemerintah untuk diteken dan resmi berlaku.
CNNIndonesia.com merangkum sejumlah persoalan yang disorot dan dikritisi dari koalisi sipil, dan pembahasan pasal krusial dalam RKUHAP yang dilakukan di Komisi III DPR pada halaman selanjutnya:
Baca halaman selanjutnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP menganggap pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) cacat formil dan materiil.
Oleh karena itu, dalam konferensi pers bersama akhir pekan lalu, koalisi meminta Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI menunda proses pembahasan aturan tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP meminta pemerintah mendengar dan mempertimbangkan aspirasi mereka terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan ada beberapa catatan terkait RUU KUHAP, termasuk hak tersangka, korban, dan saksi.
“Masukan publik tidak boleh diabaikan begitu saja atau hanya kemudian dijadikan etalase sekedar didengar, tapi kemudian tidak pernah dipertimbangkan atau diakomodir,” kata Arif dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (16/11).
“Masukan-masukan itu penting dan berharga, dan menjadi kebutuhan riil dari masyarakat sipil, dari masyarakat yang selama ini menjadi korban,” tambahnya.
Koalisi ini mengeluarkan somasi terbuka kepada Presiden, DPR, Kementerian Hukum, dan Kementerian Sekretariat Negara.
Keberatan koalisi sipil
Pertama adalah klaim yang disampaikan pembuat undang-undang telah membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan YLBHI dkk.
Namun, faktanya, mereka mengklaim sejumlah masukan yang dibacakan dalam rapat panja ini disebut berbeda dengan masukan yang diberikan koalisi sipil.
Selain itu, koalisi juga menyoroti pembahasan RUU KUHAP yang sangat singkat dan tidak substansial. Pembahasan terbaru disebut tidak menunjukkan perubahan dibandingkan dengan draf pada Juli 2025.
“Pembahasan kemarin memang tidak ada perubahan signifikan dari yang kita suarakan di bulan Juli lalu. Kemudian kita melihat apa yang berlaku di dua hari itu sebetulnya itu tidak menjawab masalah-masalah kami, yang paling utama sebetulnya soal penangkapan dan penahanan,” tutur Peneliti ICJR Iftitah Sari dalam konferensi pers, Minggu (16/11).
Penangkapan dan Penahanan
Iftitah lantas mencontohkan bagaimana penangkapan dan penahanan dilakukan serampangan pada sejumlah orang dalam rangkaian demo Agustus lalu.
Koalisi berharap UU KUHAP yang baru nantinya bisa menjadi kontrol terhadap hal semacam ini.
Koalisi juga menyoroti kerentanan masyarakat untuk ditangkap, digeledah, dan disadap tanpa izin hakim.
Selain itu, Isnur mengatakan ada ancaman bagi setiap orang yang bisa ditangkap dan ditahan di tahap penyelidikan (Pasal 5).
Jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP yang saat ini berlaku, tindakan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.
Namun, dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan bahkan penahanan.
“Padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi,” tutur Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan pers pada akhir pekan lalu.
Undercover buy and controlled delivery
Lebih lanjut, koalisi juga menyoroti beberapa poin lain seperti operasi undercover buy (pembelian terselubung) and controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus, yakni narkotika.
Dalam RUU KUHAP kewenangan ini masuk ke dalam metode penyelidikan dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak punya batasan dan tidak diawasi hakim.
Kewenangan tersebut menjadi metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak mempunyai batasan dan tidak diawasi hakim (Pasal 16).
Isnur mengatakan kewenangan luas tanpa pengawasan ini dinilai berpotensi membuka peluang penjebakan oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya.
Risiko bantuan hukum dibatasi, polisi di atas segalanya
Dalam konferensi pers, koalisi juga melihat semua penyidik PNS dan penyidik khusus diletakkan di bawah koordinasi polisi sehingga menjadikan, “Polri lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8)”.
“Padahal selama ini mestinya polisi yang harus diawasi. Kepolisian masih memiliki banyak catatan masalah maladministrasi namun juga penyalahgunaan kewenangan,” imbuhnya.
Selain itu, koalisi sipil juga menilai pasal-pasal yang menyangkut pemenuhan bantuan hukum dipengaruhi ancaman pidana.
“Padahal seharusnya bantuan hukum merupakan hak yang tidak melihat latar belakang kasus maupun ancaman hukuman,” kata mereka.
“Selain itu rumusan pasal-pasal bantuan hukum terlihat ambigu yang menciptakan ketidakpastian hukum karena disatu sisi bantuan hukum diberikan karena merupakan kewajiban tapi di sisi lain bantuan hukum dapat ditolak atau dilepaskan,” imbuhnya.
Check and balance restorative justice
Isnur mengataka pihaknya juga menilai RUU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ).
Hal itu dikarenakan penetapan hakim untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel, tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial (judicial scrutiny) dan memberikan opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat. (Pasal 78, 79).
Penyandang disabilitas
Isnur menyatakan Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif.
Lebih jauh, Pasal 137A dianggap membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.
Pasal tersebut dinilai berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan.
“Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum,” katanya.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mengungkap 14 substansi perubahan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang telah disahkan di tingkat satu pada Kamis (13/11).
Dalam rapat yang turut dihadiri wakil pemerintah itu, sebanyak delapan atau seluruh fraksi di Panja RKUHAP menyepakati RKUHAP segera dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Sebagian fraksi kompak menilai RKUHAP harus segera diperbarui karena sudah berusia 44 tahun sejak kali pertama disahkan pada 1981 era Presiden Soeharto.
Habib mengatakan RKUHAP yang telah disetujui berpeluang akan disahkan pada paripurna pekan ini.
Enam bulan masa pembahasan
Dalam jumpa pers pekan lalu, Habib mengungkap terhitung enam bulan pembahasan RUU itu dilakukan. RKUHAP mengatur sejumlah perubahan terkait tantangan pada sistem peradilan, terutama meliputi transparansi, akuntabilitas, dan hak para korban atau terdakwa.
“Oleh karena itu setiap pasal dalam RUU ini tentu harus merespons kebutuhan tersebut dengan bijaksana dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia,” katanya.
Berikut daftar 14 substansi perubahan pada RKUHP:
1. Penyesuaian hukum acara pidana dengan memperhatikan perkembangan hukum nasional dan internasional
2. Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat
3. Penegasan prinsip diferensi fungsional dalam sistem penilaian pidana yaitu pembagian peran yang proposional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat dan pemimpin kemasyarakatan untuk menjadi profesionalitas dan akuntabilitas
4. Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antar lembaga guna meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana
5. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa korban, saksi termasuk hak atas bantuan hukum pendampingan advokat, hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak serta perlindungan terhadap ancaman intimidasi atau kekerasan dalam setiap tahap penegakan hukum
6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral dalam sistem peradilan pidana
7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif atau restoratif justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana luar pengadilan yang dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan
8. Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak dan lanjut usia diperkuat dengan kewajiban aparat untuk melakukan asesment keutuhan khusus serta menyediakan sarana dan prasaran pemeriksaan yang ramah dan aksesibel
9. Penguataan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan
10. Perbaika pengaturan tentang upaya paksa untuk menjamin penerapan prinsip perlindungan HAM dan due proces of law. Termasuk pembatasan waktu syarat penetapan dan mekanisme kontrol yudisial melalui izin pengadilan atas tindakan aparat penegak hukum
11. Pengenalan mekanisme hukum baru dalam hukum acara pidana antara lain pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman dan perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku tindak pidana korporasi
12. Pengaturan prinsip pertanggungjawaban atas tindak pidana korporasi
13. Pengaturan kompetensi, restitusi, rehabilitasi secara lebih tegas sebagai hak hukum korban dan pihak yang dirugikan oleh kesalahan prosedur atau kekeliruan penegakan hukum
14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan proses peradilan yang cepat sederhana, transparan dan akuntabel.
Frasa Polri penyidik utama
Dalam keterangannya pada Jumat (14/11), Habib menyatakan tak menghapus frasa ‘ Polri sebagai penyidik utama’ di dalam RKUHAP karena sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Frasa itu ada di dalam Pasal 6 RKUHAP.
“Memang ada usulan bahwa ketentuan tersebut dihapus, namun demikian setelah diingatkan bahwa pasal tersebut sudah sesuai keputusan mahkamah konstitusi akhirnya tidak jadi dihapus,” kata dia yang juga dikenal sebagai politikus Gerindra itu.
Frasa penyidik utama dalam KUHAP tertuang dalam Pasal 6 yang menjelaskan unsur penyidik, yang berbunyi, “(1) penyidik terdiri atas: a. Penyidik Polri; b. PPNS; dan c. Penyidik Tertentu”.
Lalu pada ayat 2, “Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang”.
Penyitaan tanpa izin pengadilan
Dalam rapat lanjutan pembahasan RKUHAP pada Rabu (12/11) lalu para pembuat undang-undang menyepakati beleid penyitaan dilakukan tanpa izin ketua pengadilan negeri (PN) dalam keadaan mendesak.
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 112A dan disepakati dalam rapat lanjutan Panja RKUHAP antara Komisi III DPR dan Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej.
“Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri (PN) hanya atas benda bergerak dan untuk itu paling lama 5 hari kerja wajib meminta persetujuan kepada ketua PN,” demikian bunyi ayat (1) Pasal 112A.
Eddy menjelaskan, lewat ayat tersebut, penyidik artinya boleh melayangkan izin setelah penyitaan dilakukan, maksimal hingga lima hari.
Sementara, syarat keadaan mendesak diatur dalam ayat (2), yakni letak geografis yang susah dijangkau; tertangkap tangan; tersangka berpotensi merusak bukti; benda atau aset mudah dipindahkan; situasi lain berdasarkan penilaian penyidik.
Kemudian, ayat ketiga atau terakhir Pasal 112A mengatur tentang izin yang harus diberikan ketua pengadilan.
“Ketua PN paling lama 2 hari terhitung sejak penyidik meminta persetujuan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 wajib mengeluarkan penetapan persetujuan atau penolakan”.
“Oke sepakat teman-taman?” ujar Habiburokhman meminta persetujuan peserta rapat pada Rabu pekan lalu itu.
Alat perekam selama pemeriksaan tersangka
Selain itu, Pemerintah dan DPR menyepakati alat perekam dalam proses pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh aparat aparat kepolisian dalam RKUHAP.
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 31 ayat 2.
“Supaya aparatnya enggak dituduh sewenang-wenang juga, dia enggak gebukin, wah ini gebukin padahal enggak ada buktinya, kalau sama-sama bisa akses CCTV kan enak. Bagaimana? Aman? Ketok ya,” ujar Habib.
Pasal 31 ayat 2 tersebut berbunyi, “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung“.
Kemudian ayat 4 mengatur penggunaan rekaman digunakan untuk kepentingan pembelaan terhadap tersangka dan terdakwa.
Wamenkum Eddy Hiariej menyetujui usulan pasal tersebut. Dia menilai penggunaan rekaman diperlukan sebagai pengawas untuk memberikan keadilan baik bagi penyidik, pelapor, dan terlapor.
“Pemerintah setuju pak, karena dengan penggunaan kamera pengawas ini yang secara berimbang baik kepada pelapor dan terlapor itu bisa diberikan, Pak,” kata Eddy.

