Daftar isi
Jakarta, Pahami.id –
Konflik berdarah kembali muncul di Sudan dan membunuh ratusan warga sipil.
Pasukan dukungan cepat paramiliter (RSF) melakukan “pembantaian” terhadap ratusan warga di kota El Fasgher, Negara Bagian Darfur Utara.
Video itu beredar di media sosial dan diverifikasi Al Jazeera Menggambarkan tentara RSF menyiksa dan mengeksekusi warga.
Selama 1,5 tahun terakhir, RSF telah mengepung kota El Fasher. Mereka juga membangun penghalang sepanjang 56 km dan mencegah masuknya makanan serta menutup jalur keluar.
Amerika Serikat kemudian meminta tiga negara Arab, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir, untuk membantu menengahi konflik berdarah di Sudan. Amerika Serikat dan ketiga negara tersebut mengajukan proposal eliminasi dan penghentian antara RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) untuk segera menghentikan pertempuran dan genosida.
RSF disebut telah menyetujui proposal gencatan senjata dan membuka bantuan kemanusiaan di Sudan.
Meski Arab Saudi, UEA, Mesir termasuk negara yang menjadi penengah konflik dengan Amerika Serikat, namun pengamat intelijen menilai ketiga negara Arab tersebut juga terlibat langsung atau tidak langsung dalam perang saudara di Sudan, dikutip dari CNN.
Beberapa pengamat dan aktivis hak asasi manusia menuduh Saudi, UEA, Mesir, dan Rusia mencoba mempengaruhi konflik di Sudan dengan berbagai cara. Pengaruh ini mencakup dukungan keuangan dan logistik, penyediaan senjata, dan menawarkan dukungan diplomatik.
Keempat negara tersebut awalnya mendukung tentara Sudan ketika mereka menggulingkan rezim diktator lama Omar Al Bashir pada tahun 2019 dan ketika tentara mengkonsolidasikan kekuasaannya atas negara tersebut dalam kudeta pada tahun 2021.
Namun, faksi-faksi militer terpecah dan saling berperang untuk memperebutkan kekuasaan. RSF dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, sedangkan SAF dipimpin oleh Abdel Fattah Al Burhan.
Konflik ini juga memaksa negara-negara pendukung kudeta untuk memilih salah satu faksi militer. Keterlibatan pihak asing semakin tidak jelas. Pada kenyataannya, terlalu banyak hal yang dipertaruhkan.
“Pihak mana pun yang dapat mengendalikan Sudan mempunyai posisi untuk memberikan pengaruh di kawasan Tanduk Afrika yang lebih luas serta Afrika Sub-Sahara,” kata mantan duta besar AS untuk Kamboja dan Zimbabwe dan kini Kepala Program Afrika di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri, Charles Ray.
Pasokan senjata dari UEA
Diduga kuat UEA kerap menyuplai senjata ke RSF pimpinan Dagalo. Pengamat dan aktivis hak asasi manusia menelusuri sumber beberapa senjata hingga ke UEA.
Ada juga beberapa perusahaan di UEA yang memiliki hubungan kuat dengan pemberontak RSF.
Namun UEA membantah tuduhan tersebut meskipun beberapa ahli di PBB telah mengkategorikan UEA jelas-jelas “bertanggung jawab” atas konflik di Sudan.
Keterlibatan Mesir
Sementara Mesir terang-terangan mendukung kudeta Al Burhan terhadap Omar Al Bashir pada 2021. Namun, ketika kedua jenderal Sudan bentrok, Mesir cenderung mendukung Al Burhan yang mengantarkan Saf berkuasa.
Mesir mengadakan pertemuan berulang kali dengan Al Burhan untuk memberikan dukungan diplomatik
Pada pertemuan bulan lalu, Kementerian Luar Negeri Mesir secara khusus mendukung SAF.
Mesir dengan tegas menyatakan “komitmen Mesir terhadap kedaulatan Sudan, integritas wilayah, dan peran penting lembaga nasionalnya, khususnya angkatan bersenjata Sudan.”
Keterlibatan Saudi
Saudi secara terbuka menekankan posisi netralnya dan meminta pihak-pihak yang berkonflik untuk segera menghentikan pertempuran di Sudan.
Namun, para pengamat menilai Saudi diam-diam mendukung Al Burhan menjadi penguasa Sudan, seperti Mesir.
Arab Saudi juga berperan besar dalam mengevakuasi ribuan orang, terutama warga asing dari Sudan, beberapa pekan lalu.
(membaca)

