Site icon Pahami

Berita Komnas Perempuan Beber 80 Aduan soal Konflik Agraria-PSN di Sidang MK

Berita Komnas Perempuan Beber 80 Aduan soal Konflik Agraria-PSN di Sidang MK


Jakarta, Pahami.id

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Perempuan Komnas) Negara ini selama periode 2020-2024 menerima 80 pengaduan terkait konflik sumber daya alam, pertanian, dan penggusuran.

Dari jumlah tersebut, terdapat 11 kasus yang teridentifikasi terkait Program Strategis Nasional (PSN) dan tidak terkecuali korban jiwa.


Hal itu disampaikan Ketua Komnas Perempuan yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang lanjutan perkara nomor 112/puu-xxiii/2025 terkait PSN dalam UU Hak Cipta (PENCIPTA) pada Selasa (7/10). Panitia perempuan dihadirkan sebagai pihak terkait dalam persidangan.

“Pertama pelabuhan baru Makassar, 300 perempuan nelayan kehilangan nyawa, lalu lonjakan KDRT, lalu kedua Bendungan Bener, Wadas, Jawa Tengah. Ini juga 334 perempuan petani kehilangan lahannya.

Lalu yang keempat, PLTA Poso, Sulawesi Tengah, 100 perempuan kehilangan akses air bersih, lalu kelima, PLTP Poco Leok, Manggarai, NTT. Ini juga perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan seksual.

Kemudian food estate ketujuh, di Papua Selatan, ratusan perempuan adat kehilangan hutan, pangan, dan ruang hidup, lalu, UIII depok, Jawa Barat, 17 perempuan kehilangan usaha, Mandalika, NTB, 70 perempuan kehilangan usaha.

Maria mengatakan, status PSN memberikan legitimasi hukum yang mempercepat perizinan, pembebasan lahan, dan mobilisasi Persetujuan bebas, sebelum dan diberitahukan (FPIC) yang merupakan standar hak asasi manusia (ham).

Menurut partainya, legitimasi itulah yang mentransformasikan hukum menjadi instrumen kekerasan, karena dibalik legitimasinya, wajar saja jika terjadi pembagian ruang hidup yang berdampak paling buruk bagi perempuan.

“Hilangnya sumber kehidupan perempuan muncul dalam berbagai bentuk: Tercemarnya makanan laut di Makassar, perampasan kebun untuk batu-batu andesit di kelurahan, air bersih yang hilang akibat rusaknya Danau Poso, perampasan hasil hutan di Merauke, hingga usaha-usaha kecil yang dirusak dengan penggusuran los dan lapak.

Maria kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan data pemantauan yang menunjukkan lebih dari seribu perempuan kehilangan sumber daya ekonomi langsung, jumlah tersebut menggambarkan transisi besar dari kemandirian ekonomi ke ketergantungan yang dipaksakan.

Kekerasan berbasis gender

Maria mengatakan berdasarkan pemantauan kompleksitas perempuan sebanyak 11 kasus sepanjang 2020-2024 menunjukkan pola yang konsisten bahwa status PSN tidak hanya mempercepat pembangunan, tetapi juga menjadi instrumen hukum yang menghasilkan bentuk kekerasan berbasis gender atau KBG.

Ia mengatakan KBG tergolong baru dan berlapis.

“Pertama, kekerasan fisik dan psikis.

“Kekerasan fisik yang terjadi bukan sekedar tindakan penindasan, namun bagian dari perilaku pembiakan iklim jangka panjang dan membatasi ruang bagi perempuan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Di akhir keterangannya, Maria juga menyinggung pasal Hak Cipta atas karya yang mengatur fasilitas dan percepatan PSN untuk kepentingan pengusaha merupakan tindakan diskriminatif karena bertentangan dengan ayat (2).

Untuk itu, lanjutnya, Komnas Perempuan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pemohon.

Permohonan yang menggugat PSN dalam UU Ciptaker diajukan oleh pemohon dari kalangan organisasi kepada perorangan, yakni antara lain YLBHI, Wali, dan 19 pemohon lainnya.

Pemohon mempermasalahkan Pasal 3 huruf D; Pasal 10 Huruf Pasal 123 Angka 2; Pasal 173 ayat (2) dan ayat (4); Pasal 19 ayat (2) Pasal 31 Angka 1; Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 124 Angka 1; Pasal 19 ayat (2) Pasal 36 Angka 3; Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Pasal 18 angka 15; dan Pasal 34A ayat (1) dan ayat (2) Pasal 17 angka 18.

Pemohon mendalilkan ketentuan terkait fasilitas dan percepatan PSN menggerogoti prinsip dasar negara hukum, dan menimbulkan konflik sosial ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional masyarakat.

Oleh karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan beberapa pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat hukum.

(Anak-anak/Gil)


Exit mobile version