Site icon Pahami

Berita Koalisi Sipil Sentil Perpres TNI-Polri Lindungi Jaksa: Tak Dibutuhkan


Jakarta, Pahami.id

Koalisi Publik untuk Reformasi Sektor Keamanan Mengkritik Peraturan Presiden 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Nasional Jaksa Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kantor Kejaksaan Republik Indonesia (Spres 65/2025). Menurut koalisi, peraturan presiden yang ditandatangani oleh presiden Prabowo Subianto Itu tidak mendesak.

“Koalisi menilai bahwa 66/2025 tidak mendesak dan tidak diperlukan,” kata koalisi dalam siaran pers pada hari Jumat (5/23).

Dalam sistem presiden, tanpa 66/2025, presiden dapat memerintahkan Jaksa Agung untuk memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki oleh Kantor Kejaksaan dan/atau mungkin meminta polisi untuk terlibat dalam bantuan keamanan.


Sampai saat ini, itu menjelaskan bahwa tidak ada ancaman realitas nyata terhadap keamanan nasional yang terkait dengan kondisi kantor jaksa penuntut yang mengharuskan presiden untuk membuat aturan presiden.

Pandangan koalisi bahwa jaksa penuntut masih dalam kondisi umum yang menangani kasus -kasus hukum yang ada dan tidak ada ancaman militer yang mengharuskan presiden atau komandan TNI untuk memobilisasi militer (TNI) ke kantor jaksa penuntut.

“Oleh karena itu, Spres 66/2025 tidak memiliki instan dan tidak seimbang dalam hal keterlibatan TNI,” kata koalisi itu.

Dalam hal ini, koalisi tidak dapat melepaskan keberadaan penangguhan dari surat Telegram Komandan/Kasad yang memindahkan hampir enam ribu staf TNI ke kantor jaksa penuntut.

Rahasia 66/2025 dianggap sebagai bentuk penurunan nilai hukum untuk kesalahan komandan yang mengerahkan tim TNI ke kantor jaksa penuntut.

“Ini karena Spres 66/2025 lahir setelah produksi telegram Kasad diisi dengan banyak masalah,” kata koalisi itu.

Mereka mengatakan bahwa sesi 66/2025 adalah model politik Fait Fait Yang benar adalah bahwa itu tidak sehat dan memiliki efek yang menghancurkan pada demokrasi.

Koalisi mengatakan apa yang harus dilakukan presiden adalah membatalkan surat telegram dan tidak membentuk 66/2025. Dalam konteks ini, presiden tampaknya membenarkan kesalahan komandan TNI dengan menerbitkan 66/2025.

Koalisi menilai bahwa praktik kekuasaan dalam mengimplementasikan undang -undang ini akan secara negatif mempengaruhi aturan hukum dan demokrasi karena kesalahan hukum tidak diperbaiki, melainkan dikonfirmasi.

Koalisi mengacu pada praktik politik yang sebelumnya dilakukan dalam hal pengangkatan Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (SESKAB).

Letnan kesalahan Letnan Kolonel Teddy sebagai Seskab pada 21 Oktober 2024 sebenarnya diikuti oleh perubahan kebijakan dalam bentuk publikasi 148/2024 pada 5 November 2024 di Kementerian Nasional Sekretariat yang mengkonfirmasi posisi seskab yang dapat diisi oleh tentara TNI yang aktif.

“Koalisi mempertimbangkan masalah suspensi 66/2025 untuk membuka ruangan untuk pengembalian TNI dwifunction.

“Faktanya, kantor kejaksaan adalah petugas penegak hukum yang melakukan penuntutan dan otoritas lain berdasarkan hukum, sementara TNI jelas dan jelas dari alat pertahanan negara yang diatur dalam Konstitusi,” katanya.

Selain itu, koalisi mempertanyakan wakil 66/2025 yang tidak memberlakukan TNI atau hukum kepolisian nasional sehubungan dengan pembentukannya.

Faktanya, bahan -bahan itu banyak mengendalikan keterlibatan TNI dan Polri dalam mengamankan kantor jaksa penuntut.

Perampok perampok 66/2025 hanya mencakup Pasal 4 paragraf (1) Konstitusi 1945 Republik Indonesia sebagai dasar hukum untuk pembentukan penangguhan, sehingga penangguhan ini tidak menunjukkan kejelasan dalam penempatan TNI dalam konteks operasi militer.

Rahasia 66/2025 juga dikatakan secara eksplisit menjelaskan kategori OMSP yang merupakan dasar keterlibatan TNI. Mengingat ketentuan Pasal 7 Hukum TNI hanya membatasi OMSP menjadi 16 jenis, sambil melindungi tugas dan fungsi Kantor Kejaksaan tidak termasuk dalam 16 jenis OMSP.

“Ini tentu saja menyebabkan potensi penyalahgunaan kekuasaan militer karena tidak ada pembatasan yang jelas dan ketat pada ruang TNI itu sendiri,” kata koalisi itu.

Koalisi menilai bahwa 66/2025 tidak sejalan dengan ketentuan hukum karena menempatkan TNI di luar ketentuan yang ditetapkan dalam hukum.

Mengacu pada penjelasan Pasal 47 dari paragraf (1) Hukum Nomor 3 tahun 2025 tentang TNI bahwa “apa yang dimaksud dengan posisi jaksa penuntut oleh kantor kejaksaan di kantor desa tidak dibatasi oleh partai -partai yang tidak dibatasi.

Meskipun presiden memiliki kekuatan untuk menyusun aturan presiden, koalisi berlanjut, pembentukannya harus tetap sesuai dengan hukum yang tepat.

“Oleh karena itu, cocok untuk pembentukan aturan Presiden 66/2025 yang tidak tunduk pada norma dan perintah hukum yang tepat untuk dievaluasi dan ditinjau oleh Presiden dan Parlemen,” kata koalisi itu.

Koalisi publik publik untuk reformasi sektor keamanan terdiri dari beberapa organisasi non -pemerintah (LSM) seperti Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), PBHI, Amnesty International Indonesia, Elsam, Human Works Group (HRWG), Wali.

Kemudian dalam hubungannya dengan Institute, Centra Initiative, Jakarta Legal Assistance Institute (LBH), LBH Press, Komunitas LBH, LBH Surabaya Post Post, Alliance for Papua Democracy (ALDP), Public Welfare, Criminal Justice Reform Institute (ICJR), Allians Jure Jure Jure (AJI).

(Ryn/dal)


Exit mobile version