Jakarta, Pahami.id —
Sejumlah kelompok dan organisasi masyarakat sipil mengecam kekerasan atau dugaan penindasan yang dilakukan pihak berwenang TNI terkait aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat Aceh Utara terkait penanggulangan bencana.
Mereka yang tergabung dalam koalisi sipil menilai tindakan TNI membuka trauma konflik Aceh selama 32 tahun. mengikuti aliansi sipilTNI dan otoritas terkait lainnya harus mengedepankan pendekatan dialog dengan masyarakat yang kesal atas bencana yang dialaminya.
Tindakan opresif TNI terhadap warga yang membawa atau mengibarkan bendera putih dan bendera bulan sabit yang identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memang memprihatinkan. Tak hanya warga, para jurnalis yang meliput kejadian tersebut juga menjadi sasaran kekerasan aparat.
Seharusnya masalah ini diselesaikan melalui dialog antara Pemerintah Aceh atau kepolisian. Tindakan opresif TNI terhadap masyarakat Aceh justru membuka trauma lama konflik bersenjata di Aceh selama 32 tahun, kata koalisi dalam keterangannya, Sabtu (27/12).
Ketua Pengurus Besar Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Hebrew sebagai perwakilan koalisi menilai tindakan TNI bertentangan dengan tugas dan fungsinya yang tidak boleh ikut campur dalam penanganan unjuk rasa atau unjuk rasa.
Julius menilai pengibaran bendera putih atau bulan sabit milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak boleh dijadikan alasan TNI melakukan pendekatan kekerasan.
“TNI tidak boleh menggunakan alasan bendera bulan sabit untuk terlibat dalam penanganan demonstrasi,” ujarnya dalam keterangannya.
Dalam keterangan yang sama, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan, pengerahan tim Korem 011/Lilawangsa untuk menghalau aksi warga pada 25 Desember 2025 telah melanggar UU TNI dan juga melanggar UUD 1945.
Dalam situasi pemulihan pascabencana, kata Ardi, TNI ditengarai kurang peka dan sadar dalam menangani permasalahan sipil yang terjadi di masyarakat.
Menurutnya, keresahan masyarakat tidak boleh dibalas dengan tindakan represif dan militer yang justru semakin menunjukkan sikap tidak profesional pihak militer.
“Sekali lagi Koalisi mengecam keras tindakan represif yang dilakukan TNI terhadap masyarakat sipil di Aceh Utara, serta mendesak DPR dan pemerintah memerintahkan Panglima TNI untuk bertindak cepat dan tegas terhadap oknum TNI yang melanggar, agar tidak menimbulkan trauma baru bagi masyarakat Aceh,” ujarnya.
Selain PBHI dan Imparsial, ada beberapa organisasi yang tergabung dalam koalisi, yakni Centra Initiative, DeJure, Raksha Initiative, HRWG, dan Gabungan Wanita Indonesia (KPI).
Komite Keamanan Jurnalis
Selain itu, Komite Keamanan Jurnalis (KKJ) mengecam dan memprotes dugaan pembatasan pemberitaan dan tindakan opresif terhadap jurnalis yang meliput penanggulangan bencana di Sumatera, termasuk di Aceh.
KKJ merupakan aliansi strategis untuk melawan impunitas atas kasus kekerasan terhadap jurnalis. Komite ini beranggotakan 11 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jurnalis Foto Indonesia (PFI), YLBHI, LBH Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), PWI, dll.
Mereka pun mencontohkan beberapa kejadian dugaan tindakan penindasan dan intimidasi.
Rentetan peristiwa tersebut menunjukkan adanya upaya serius untuk mengendalikan arus informasi publik dan menekan fakta. Atas dasar itu, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) setidaknya menyampaikan tiga pandangan.
“Sanksi dan ancaman terhadap jurnalis merupakan serangan langsung terhadap kebebasan pers yang tidak lepas dari kebebasan berekspresi dan hak masyarakat untuk mengetahui. Kebebasan pers adalah indikator utama kebebasan sipil dan kualitas demokrasi,” kata mereka mengingatkan pada UU Pers.
Menurut mereka, pembatasan pemberitaan bencana merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas informasi yang merupakan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
“Dalam konteks bencana, pemblokiran informasi tidak hanya ilegal, tapi juga mengancam keselamatan masyarakat,” kata mereka.
Mereka kemudian mendesak adanya jaminan perlindungan nasional terhadap kerja pers. Selain itu, KKJ juga mendesak Dewan Pers untuk aktif mendorong dan menekan negara agar memenuhi tanggung jawabnya dalam melindungi kebebasan pers, khususnya dalam situasi bencana.
Penjelasan TNI
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen (Mar) Freddy Ardianzah mengatakan, video viral dan narasi yang berkembang terkait kejadian tersebut tidak sesuai fakta di lapangan.
Dijelaskannya, kejadian tersebut bermula pada pagi hari tanggal 25 Desember 2025 dan berlanjut hingga dini hari tanggal 26 Desember di Kota Lhokseumawe. Mulanya sekelompok orang berkumpul, berkonvoi dan berdemonstrasi, dan beberapa di antaranya mengibarkan bendera Bulan Bintang.
Padahal, pengibaran bendera dilarang karena diatur dalam Pasal 106 dan 107 KUHP, Pasal 24 huruf a, UU Nomor 24 Tahun 2009, serta PP No. 77 Tahun 2007. Ia pun meminta masyarakat tidak mudah terprovokasi.
Koordinator aksi demonstrasi menyatakan kejadian tersebut hanya beda paham dan sepakat berdamai dengan aparat. TNI mengimbau masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya, ujarnya pekan ini.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin mengingatkan aparat untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi isu pengibaran bendera Bintang Bulan yang identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di beberapa daerah di Aceh belakangan ini.
Hasanuddin berpendapat, pemerintah dan aparatur perlu melihat fenomena ini sebagai fenomena sosial yang harus disikapi secara bijak, tenang, dan seimbang.
“Pengibaran bendera GAM merupakan fenomena sosial. Kita berharap penyelesaiannya tidak dilakukan dengan kekerasan, apalagi menggunakan senjata. Pendekatan yang benar adalah dengan dialog dan upaya persuasif sebaik-baiknya,” kata anggota DPR yang membidangi pertahanan itu dalam keterangannya, Sabtu ini.
Politisi PDIP ini menilai pemerintah saat ini perlu fokus pada penanganan dan rehabilitasi korban bencana. Mereka dinilai lebih membutuhkan kehadiran negara dibandingkan suasana yang menimbulkan ketegangan.
“Masyarakat membutuhkan kehadiran negara untuk membantu pemulihannya, bukan suasana yang berpotensi menimbulkan ketegangan,” ujarnya.
(anak/anak-anak)

