Site icon Pahami

Berita Koalisi Minta MK Tunda Pemberlakuan Revisi UU TNI


Jakarta, Pahami.id

Advokasi untuk reformasi sektor keamanan yang menyertai individu dan organisasi non -pemerintah (LSM) diminta Pengadilan konstitusional (MK) Untuk menurunkan keputusan sementara dalam kasus tes resmi nomor 3 tahun 2025 tentang amandemen UU 34/2004 tentang Angkatan Darat Indonesia (Hukum).

“Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk membuat keputusan sementara, menunda pelaksanaan tinjauan hukum TNI,” kata Bugivia Maharani dari Pusat Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sebagai pengacara di Pengadilan Konstitusi pada hari Rabu (5/14).

Dalam persiapan ketentuan, pemohon juga meminta pengadilan konstitusional untuk memerintahkan presiden untuk tidak mengeluarkan aturan implementasi dalam peraturan pemerintah CASU atau peraturan presiden sampai keputusan akhir.


Rani menambahkan bahwa pemohon juga meminta pengadilan konstitusional untuk memerintahkan presiden dan parlemen untuk tidak memutuskan kebijakan dan tindakan strategis yang berkaitan dengan implementasi tinjauan hukum TNI.

“Memesan kementerian/lembaga/lembaga lain untuk tidak membuat kebijakan dan/atau tindakan yang berkaitan dengan implementasi tinjauan hukum TNI,” kata Rani.

Wakil Direktur Imparial Husein Ahmad, yang juga bertindak sebagai pengacara hukum, menyatakan bahwa undang -undang 3/2025 dibuat dalam ceroboh (pembuatan undang -undang kasar) dan melanggar ketentuan undang -undang dan peraturan.

Perencanaan Tinjauan Hukum Program Hukum Nasional (Prolennas) pada tahun 2025 dilakukan secara ilegal sehingga bertentangan dengan Pasal 1 dari paragraf (2), Pasal 1 paragraf (3), Pasal 20, dan Pasal 22A Konstitusi 1945, undang -undang tentang pembentukan undang -undang (UUP3) dan peraturan DPR.

Ini karena keputusan untuk memasukkan tinjauan hukum TNI tidak termasuk dalam agenda pertemuan Pleno pada 18 Februari 2025.

Namun, tiba -tiba, Ketua Sesi Kadir ADIES (Wakil Ketua DPR, kelompok kerja atau partai Golkar) untuk persetujuan dari anggota DPR yang menghadiri pertemuan Pleno untuk menyetujui tinjauan hukum TNI untuk memasuki program prioritas pada tahun 2025.

Ulasan hukum TNI juga disebut no Membawa lebih banyak Agar diskusi untuk melanggar Pasal 1 paragraf (2), Pasal 1 paragraf (3), Pasal 20, dan Pasal 22A Konstitusi 1945, hukum P3 dan regulasi DPR.

Tinjauan Hukum TNI Tidak Termasuk dalam 12 Tagihan Membawa lebih banyak Sebagaimana dinyatakan dalam Prioritas Prioritas pada tahun 2025 dan program Moderat 2025-2029.

Oleh karena itu, tinjauan hukum TNI tidak dapat melanjutkan ke tahap diskusi tetapi harus terlebih dahulu melalui perencanaan dan persiapan hukum.

Selain itu, tinjauan hukum TNI dipertimbangkan sejalan dengan agenda reformasi TNI sebagaimana ditentukan oleh berbagai politik hukum tentang TNI setelah 1998.

Salah satu niat awal (niat asli) dari pembentukan undang -undang 34/2004 adalah untuk memisahkan politik dan bisnis untuk mewujudkan tentara profesional. Namun, penambahan posisi sipil yang dapat dipegang oleh militer dalam Pasal 47 Tinjauan Hukum sebenarnya memperluas peran militer di wilayah sipil.

Ini bertentangan dengan prinsip -prinsip kejelasan tujuan dan prinsip -prinsip penggunaan dan penggunaan sebagaimana ditentukan dalam hukum P3.

Proses membahas tinjauan hukum TNI disebut dengan sengaja menutup partisipasi publik dan tidak transparan, yang mengakibatkan kegagalan untuk membentuk hukum.

Ini bertentangan dengan Pasal 1 paragraf (2), Pasal 1 paragraf (3), Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 28d Paragraf (1), Pasal 28d paragraf (3), dan Pasal 28f Konstitusi 1945 dan hukum P3 dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Semua dokumen untuk pembentukan ulasan hukum TNI dimulai dari manuskrip akademik, daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sehingga hukum itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik.

Selain itu, beberapa pertemuan untuk pembentukan tinjauan hukum TNI oleh Parlemen dan pemerintah dianggap diam di ruang tertutup.

Presiden dan DPR dikatakan telah dengan sengaja menarik undang -undang TNI dan tidak membuka akses langsung ke dokumen peninjauan kepada publik.

Sampai saat ini, Presiden dan Parlemen belum menyebarkan peninjauan tuntutan hukum yang telah diberlakukan. Di halaman resmi pemerintah atau parlemen tidak dapat menemukan dokumen peninjauan hukum.

Ini melanggar prinsip keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 Hukum P3.

Permintaan petitum

Berdasarkan alasan di atas, pemohon menawarkan petitum dalam permintaan mereka, termasuk:

  1. Berikan permintaan pemohon untuk semua;
  2. Menyatakan pembentukan hukum nomor 3 tahun 2025 tidak memenuhi ketentuan hukum sesuai dengan Konstitusi 1945;
  3. Menyatakan bahwa jumlah hukum RI 3 tahun 2025 tidak memiliki otoritas hukum yang mengikat;
  4. Menyatakan bahwa ketentuan hukum nomor 34 pada tahun 2004 tentang TNI yang telah diubah atau ditambahkan melalui hukum RI nomor 3 tahun 2025 lagi;
  5. Memerintahkan keputusan ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

“Jika panel pengadilan konstitusional berpendapat, silakan minta keputusan yang adil (ex aequo et bono),” kata Rani.

Pelamar untuk tes formal ini terdiri dari tiga organisasi yang secara aktif melaksanakan hak asasi manusia dan advokasi demokratis dan secara aktif mendorong reformasi sektor keamanan, terutama reformasi TNI, yaitu Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), impor, dan komisi untuk orang yang hilang dan korban kekerasan (kontras).

Kemudian tiga pelamar individu Indonesia adalah aktivis hak asasi manusia yang juga presiden ke -4 Indonesia Inayah Wahid, mantan koordinator kontras Fatiah Maulidiyanty, dan aktivis mahasiswa Eva Nurcahyani.

(Ryn/gil)


Exit mobile version