Jakarta, Pahami.id –
Koalisi karang di sektor lingkungan menyoroti beberapa materi dalam peninjauan KUHP (Menggoreng) yang dianggap berpotensi ancaman.
Mereka menuntut agar diskusi tentang Rkuhap berhenti segera karena itu bukan reformasi hukum, peninjauan dianggap memperkuat kekerasan dan melemahkan hak -hak tersangka dan terdakwa.
“Kombinasi warga sipil dari berbagai sektor lingkungan, sumber daya alam, penduduk asli, masyarakat adat yang memperjuangkan hak asasi manusia untuk menyatakan penolakan materi Rhuhap,” dikutip dengan mengatakan dengan rilis resmi Minggu (7/20).
Sejumlah organisasi lingkungan yang merupakan afiliasi termasuk, Greenpeace Indonesia, Kepulauan Agiga, Konsorsium Pembaruan Agraria, Pusison Foundation, ke Wali.
“Kami pikir ini bukan bentuk reformasi hukum, tetapi jalan kembali ke ruang terbuka untuk penyalahgunaan hukum -hukum,” katanya.
Catatan Bahan
Mereka memberikan beberapa catatan untuk pelukan. Pertama, kombinasi ini menilai bahwa RKUHAP tidak dengan jelas mengendalikan operasi perusahaan, terutama perusahaan, yang umumnya merupakan aktor penghancuran lingkungan.
Menurut Koalisi tidak ada perbedaan ketika perusahaan sebagai badan harus bertanggung jawab dan ketika manajemen harus bertanggung jawab. Selain itu, tidak disebut perbedaan dalam upaya paksa yang dapat dikenakan pada perusahaan dan subjek orang.
“Aturan tentang pembubaran merger, peleburan, pemisahan atau pembubaran perusahaan harus dikendalikan lebih lanjut oleh aturan pemerintah,” kata koalisi itu.
Kedua, koalisi juga mendorong klaim anti-selip atau strategis untuk partisipasi publik (SLAPP) sebagai perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan.
Anti-SLAPP dianggap penting bagi penegakan hukum untuk menentukan tersangka dan melakukan upaya hukum.
“Bahkan anti-penampaan dalam KUHP harus diringkas dalam: Pengakhiran Investigasi dan Penuntutan, Praperadilan, dan Protes dan Pertahanan,” katanya.
Ketiga, koalisi juga menekankan potensi kelemahan penyelidik dengan pegawai negeri sipil karena mereka berada di bawah penyelidik polisi nasional dan kantor kejaksaan di RKUHAP. Mereka mempertimbangkan klausul untuk mencegah independensi lembaga sektoral dalam memberantas kejahatan lingkungan.
“Mengurangi otonomi penyelidik sektor di berbagai bidang, terutama di wilayah kehutanan dan lingkungan, secara hukum dapat memiliki kekuatan untuk melakukan penyelidikan,” katanya.
Keempat, kombinasi ini menilai bahwa RKUHAP masih mengabaikan prinsip -prinsip hak asasi manusia, terutama pada standar masyarakat adat.
Menurut mereka, sejak awal KUHP Pasal 2 ayat (1) dari KUHP yang terkait dengan hukum kehidupan telah dicurigai sebagai upaya untuk melemahkan masyarakat adat dengan mengaburkan makna hidup dan akomodasi hukum dalam hukum pidana. Dan kecurigaan diperkuat dalam rkuhap.
“Misalnya, tidak ada klausul yang menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok yang terekspos, sementara sejauh ini dalam praktik penegakan hukum, masyarakat adat dalam posisi mereka sebagai manusia dan kurang beruntung dalam penegakan hukum,” katanya.
“Penting untuk memasukkan mekanisme perlindungan bagi para pembela lingkungan, masyarakat adat, dan kelompok -kelompok yang diekspos sebagai aktor penting dalam sistem peradilan pidana,” katanya.
(Thr/fea)