Site icon Pahami

Berita Kisah Pahit Kabupaten Bintan Kepri Ekspor Pasir Laut


Batam, Pahami.id

Daerah BintanKepri punya pengalaman pahit sepanjang masa pengambilan keputusan eksploitasi pasir laut diekspor ke Singapura untuk memenuhi kebutuhan reklamasi di negara tetangga.

Saat itu, sekitar tahun 2000, ekspor pasir laut jor-rod ditangani oleh sebuah perusahaan pertambangan di Bintan.

Saat itu dampak pahit dirasakan oleh nelayan dan masyarakat pesisir. Meski saat itu tidak ada catatan tenggelamnya pulau kecil tersebut, namun air lautnya masih keruh sehingga ekosistemnya terganggu. Lokasi penangkapan ikan nelayan hilang, karena tidak ada lagi ikan akibat penambangan pasir laut.


Banyak komunitas nelayan yang memprotes perusahaan pertambangan, karena tidak konsisten dalam menyeimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Aksi protes pun sempat terekam hingga hampir berakhir ricuh.

“Pengalaman yang pahit, ketika kita berhadapan dengan masyarakat nelayan, karena itu pedagangnya tidak peduli, sering kali tidak berkomitmen dengan masyarakat, hal ini pernah terjadi pada mobil. [pengusaha tambang pasir laut] “Pak Martinus, masyarakat ingin membalikkan keadaan ini,” ujar mantan Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Kepulauan Riau (saat masih menjadi bagian dari Provinsi Riau) dan Kabupaten Bintan pada awal tahun 2000-an ini CNNIndonesia.com, Selasa (17/9).


Lebih lanjut, kata Karya, saat menjabat Kepala Dinas Pertambangan ada beberapa titik yang digunakan untuk eksploitasi penambangan pasir laut. Sebagiannya berada di depan laut Lobam, depan Busung dan sebagian kawasan Bintan Timur, dekat kawasan Pulau Mapur dan kawasan Lagoi yang bukan merupakan kawasan terumbu karang.

Menurutnya, saat itu ada beberapa perusahaan tambang yang masuk ke Bintan dan Karimun, hanya sedikit yang disetujui, karena harus memenuhi syarat dan seleksi.

Kalau tidak salah waktu itu ada lima perusahaan, di Bintan di Karimun tidak banyak, saya lupa, kata Karya.

Usulan kapan ekspor pasir laut dibuka kembali

Kini, dia berharap dengan dibukanya pipa Ekspor Pasir Laut oleh pemerintah pusat dapat memberikan manfaat bagi daerah, masyarakat, dan negara, terutama dari sisi penerimaan pajak.

Menurut dia, pembagiannya harus jelas, per meter kubik atau satu ton untuk royalti, kemudian harus segera ditetapkan harga, sesuai kualitas.

Makanya masalahnya desa kita rugi, aturan kita tidak jelas, negara bangga, kita harus untung juga, pengusaha untung, daerah untung, negara untung. Untung, lingkungan dan masyarakat sama. ,” kata Karya.

Ia juga meminta pemerintah pusat dan operator pertambangan melibatkan pemerintah daerah ketika kegiatan ekspor pasir mulai beroperasi. Kata dia, jika ada keberatan dari masyarakat nelayan maka yang akan ditangani adalah pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.

Indonesia telah membuka kembali ekspor pasir laut yang telah dilarang selama 20 tahun.

Pada tahun 2002, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri melarang ekspor pasir laut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengawasan dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Saat itu, Megawati melarang ekspor pasir laut untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Namun, Jokowi mengubah kebijakan melalui PP 26/2023 untuk membuka kembali jalur ekspor. Dalam Pasal 6 beleid tersebut, Jokowi memberi ruang kepada beberapa pihak untuk melakukan pengerukan pasir laut guna mengendalikan dampak sedimentasi di laut.

Dengan alasan pengendalian sedimentasi, Jokowi mengizinkan beberapa pihak untuk membersihkannya. PP kemudian diturunkan

Gelombang penolakan muncul setelah PP tersebut terbit, terutama dari organisasi lingkungan hidup seperti Greenpeace, Walhi, mantan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Susi Pudjiastuti, serta para nelayan.

Mengutip Reuters, Indonesia pertama kali melarang ekspor pasir laut pada tahun 2003. Larangan ekspor tersebut dikukuhkan pada tahun 2007 sebagai bentuk penolakan terhadap pengiriman pasir ilegal ke Singapura.

Sebelum larangan tersebut, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut ke Singapura untuk ekspansi darat, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 dan 2002.” kata laporan itu.

Sedangkan menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2019, Negara Singa merupakan importir pasir laut terbesar di dunia. Faktanya, Singapura mengimpor 517 juta ton pasir laut dari negara tetangganya, termasuk Malaysia, selama dua dekade terakhir.

Analis Senior Lembaga Strategis dan Ekonomi Indonesia (ISEAI) Ronny P Sasmita memaparkan beberapa bahaya dibukanya jalur ekspor pasir laut. Pertama, bahaya terhadap alam dan lingkungan laut akibat pengerukan pasir laut.

Menurutnya, kegiatan ekstraktif pasir laut memiliki kesamaan dengan kegiatan ekstraktif lainnya yang dapat merusak lingkungan. Oleh karena itu, peraturan untuk kegiatan lingkungan hidup, seperti pertambangan, sangat ketat.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Zuhadi mengatakan, UU 32/2014 tentang Kelautan jelas mengatur langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi pencemaran dan kerusakan laut. Dan, lanjutnya, PP dan Peraturan Menteri Perdagangan tentang ekspor pasir laut justru bertentangan dengan petunjuk undang-undang.

PP dan Perdana Menteri sebagai peraturan pelaksanaan justru bertentangan dengan undang-undang, ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.comSelasa (17/9).

Dalam Pasal 56 UU Kelautan, kata dia, ditegaskan pada ayat (1) bahwa pemerintah bertanggung jawab menjaga dan melestarikan lingkungan laut.

Setelah ayat (2), perlindungan dan pelestarian lingkungan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pencegahan, pengurangan, dan pengendalian lingkungan laut dari segala pencemaran laut serta penanganan kerusakan lingkungan laut. lingkungan laut,” ujarnya. Zenzi, menjelaskan dasar hukum sebenarnya.

Ayat (2) sudah jelas, yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengatasi pencemaran dan kerusakan, imbuhnya.

(arp/anak)



Exit mobile version