Jakarta, Pahami.id —
Komisi Pemberantasan Korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi) melakukan tiga operasi sengatan (OTT) pada akhir tahun 2025. Operasi siluman ini menyasar aparat penegak hukum, dalam hal ini jaksa.
OTT pertama terjadi di Kabupaten Tangerang, Banten, dan Jakarta, Rabu 17 Desember 2025. KPK menangkap seorang jaksa atas nama Redy Zulkarnaen (Kasubbag Reserse Kriminal dan Perpustakaan Kejaksaan Tinggi Banten).
Penangkapan itu terkait dugaan pemerasan terhadap warga negara asing (WNA) asal Korea Selatan.
OTT yang dilakukan KPK bermula dari proses internal Kejaksaan Agung yang tidak tepat. Kasus dugaan pungli hanya bisa diselesaikan dengan sanksi disiplin.
Sebanyak sembilan orang berada dalam operasi senyap tersebut. Terdiri dari seorang jaksa penuntut umum, dua orang pengacara, dan enam orang dari pihak swasta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu menyasar dua orang jaksa lagi, yakni Rivaldo Valini S selaku Kepala Subbagian Program Bidang Penyusunan, Pelaporan dan Evaluasi Program pada Sekretariat Badiklat, sebelumnya menjabat Kepala Seksi D pada Aspidum Kejaksaan Tinggi Banten, dan Herdian Malda Ksa Regastria Tangerang sebagai Kepala Seksi Kriminal Kabupaten Tangerang Herdian Malda Ksa Regastria sebagai Kepala Seksi Kriminal Kabupaten Tangerang. Namun KPK urung menangkapnya karena diduga membocorkan OTT.
KPK juga menemukan dan menyita barang bukti uang tunai senilai lebih dari Rp900 juta.
Setelah melalui proses panjang dan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan penanganan kasus tersebut kepada Korps Adhyaksa.
Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka terkait kasus dugaan pemerasan.
Mereka adalah Redy Zulkarnaen, Rivaldo Valini, Herdian Malda Ksastria, pengacara berinisial DF, dan pengacara berinisial MS.
Pelajari HSU
OTT kemudian menyasar Kepala Kejaksaan Negeri HSU Albertinus Parlinggoman Napitupulu dan Kepala Divisi Intelijen Kejaksaan Negeri HSU Asis Budianto. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam operasi senyap yang dilakukan pada Kamis, 18 Desember 2025, KPK sebenarnya juga ingin menangkap Kepala Bagian Tata Usaha Negara (Datun) Kejaksaan HSU, Tri Taruna Fariadi. Namun pelaku melakukan perlawanan dengan mencoba memukul petugas KPK tersebut hingga melarikan diri.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memasukkan nama tersebut ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Dalam OTT yang berawal dari aduan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap 21 orang, 6 orang di antaranya dibawa ke Jakarta untuk dimintai keterangan. Selain Kajari dan Kepala Intel HSU, lainnya masih berstatus saksi.
Kepala Dinas Pendidikan HSU Rahman, Kepala Dinas Kesehatan Yandi, serta Hendrikus dan Rahmad Riyadi serta lainnya yang dibawa ke Jakarta.
Usai menjabat sebagai Kajari HSU pada Agustus 2025, Albertinus diduga menerima aliran uang sedikitnya Rp 804 juta, baik langsung maupun melalui perantara yakni Asis dan Tri Taruna serta pihak lain.
Penerimaan uang tersebut merupakan hasil pemerasan Albertinus terhadap sejumlah pejabat daerah di HSU, antara lain Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum (PU), dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
“Selama November-Desember 2025, dari permohonan tersebut, APN (Albertinus) diduga menerima aliran dana sebesar Rp 804 juta yang terbagi dalam dua klaster perantara,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Sabtu (20).
Bupati Bekasi
Senada dengan itu, Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menangkap Bupati Bekasi periode 2025-sekarang Ade Kuswara Kunang dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek obligasi utang.
Sebanyak 10 orang diamankan dalam OTT, 8 orang diantaranya yang mayoritas merupakan pihak swasta dibawa ke Jakarta untuk dimintai keterangan.
Setelah melalui proses penyidikan yang panjang, KPK menetapkan Bupati Ade Kuswara, ayah bupati bernama HM Kunang yang merupakan Kepala Desa Sukadami Kecamatan Cikarang Selatan, dan pihak swasta bernama Sarjan sebagai tersangka.
Dalam 1 tahun terakhir sejak Desember 2024, Ade Kuswara rutin meminta ‘ikatan’ Sersan untuk paket proyek melalui perantara HM Kunang dan pihak lain.
Besaran ijon yang diberikan Sersan Ade Kuswara bersama HM Kunang mencapai Rp 9,5 miliar.
Uang itu diberikan sebanyak empat kali melalui perantara.
“Selain aliran dana tersebut, sepanjang tahun 2025 ADK [Ade Kuswara] “Kami juga diduga menerima penerimaan lainnya dari beberapa pihak sebesar Rp4,7 miliar,” kata Asep.
Ketiga tersangka ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK selama 20 hari pertama hingga 8 Januari 2026.
Atas perbuatannya, Ade Kuswara dan HM Kunang selaku pihak penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 a atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Tipikor (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU Tipikor. persimpangan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Sersan selaku pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor.
Dalam menangani kasus OTT ini, KPK menyegel dua rumah milik Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Eddy Sumarman di Bekasi dan Pondok Indah.
Asep mengatakan, penyegelan itu dilakukan saat tim melakukan OTT di Kabupaten Bekasi pada Kamis, 17 Desember 2025, dan menemukan tanda-tanda dugaan keterlibatan Eddy.
Jadi, penandatanganannya dilakukan saat OTT, awalnya diduga sebagai pelaku korupsi, kata Asep dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu 20 Desember 2025 pagi.
Asep menuturkan, tim saat itu gagal mempertemukan Eddy dengan pihak yang terjebak OTT di Kabupaten Bekasi. Asep tidak menjelaskan kendala yang dihadapi tim hingga gagal membawa Eddy ke Gedung Putih KPK.
Usai menggelar kasus atau pengungkapan kepada pimpinan, keterlibatan Eddy dirasa tidak cukup bukti.
“Keterlibatan pihak ini dalam pengungkapan tersebut tentunya juga akan kita bahas, namun yang nekat berangkat ke penyidikan adalah para tersangka yang telah menemukan cukup bukti,” jelas Asep.
Oleh karena itu, lanjut Asep, penyidik akan membuka kembali segel di rumah Eddy.
(ryn/tidak)

