Site icon Pahami

Berita Ironi ‘Demokrasi Ala Thailand’ dan Kebangkitan Dinasti Shinawatra

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Tim Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, Pahami.id

Mahkamah Konstitusi Thailand baru-baru ini memerintahkan pembubaran Partai Maju Maju (MFP), partai progresif pemenang pemilu 2023.

Mahkamah Konstitusi Thailand juga memaksa Srettha Thavisin mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan menggantikannya dengan Paetongtarn Shinawatra, putri mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra.

Meski tidak mengejutkan dalam konteks politik Thailand, keputusan ini menyoroti lemahnya demokrasi di negara tersebut, yang masih sangat dipengaruhi oleh oligarki politik lama dan kekuasaan militer.


Thailand tampaknya terjebak dalam “demokrasi gaya Thailand”, di mana partai-partai yang dipilih secara sah sering kali digulingkan atau dilemahkan melalui manuver konstitusional.

Nasib MFP serupa dengan pendahulunya, Future Front Party (FFP), yang juga dibubarkan Mahkamah Konstitusi tiga tahun sebelumnya.

ketidakstabilan politik di Thailand

Thailand sendiri sudah familiar dengan berbagai gejolak politik. Pasca kudeta militer tahun 2014 yang dipimpin oleh Prayuth Chan-ocha, terjadi serangkaian peristiwa mulai dari perpecahan junta, berakhirnya rezim, pemilu tahun 2019, naik turunnya FFP, kemenangan MFP di pemilu tahun 2023, dan terakhir kembalinya keluarga Shinawatra berkuasa dengan terpilihnya Paetongtarn Shinawatra sebagai Perdana Menteri.

Politik Thailand telah ditandai oleh ketidakstabilan sejak awal tahun 2000an, terutama dengan penggulingan pemerintahan Thaksin dan Yingluck Shinawatra melalui dua kudeta militer.

Kudeta ini kemudian memunculkan dua periode kekuasaan militer antara tahun 2006 dan 2014 dan berlangsung hingga pemilihan umum tahun 2019.

Thaksin sebenarnya mulai berkuasa pada tahun 2001 dengan dukungan rakyat yang luas, terutama di daerah pedesaan dan miskin yang merasa dirugikan dengan penanganan krisis keuangan tahun 1998.

Namun, pemerintahannya ditentang oleh tentara.

Seorang pengusaha di sektor telekomunikasi, Thaksin memenangkan dua pemilu sebelum digulingkan oleh kudeta militer tahun 2006 yang dipimpin oleh Sonthi Boonyaratglin.

Peristiwa ini menandai munculnya dua kubu politik utama: “Merah” (pro-Thaksin) dan “Kuning” (pro-monarki dan konservatif).

Pada tahun 2011, adik perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra, memenangkan pemilu. Namun ia juga digulingkan melalui kudeta tahun 2014 yang dipimpin oleh Prayuth Chan-ocha, yang kemudian membentuk Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban.

Pengaruh militer semakin kuat dengan adanya reformasi konstitusi pada tahun 2017, yang memberikan militer kekuasaan untuk memilih seluruh 250 anggota Senat Thailand.

Konstitusi ini sangat berbeda dengan konstitusi tahun 1997 yang dianggap sebagai konstitusi rakyat. Pengaruh militer telah menjebak Thailand dalam model demokrasi yang khas, dengan pemilu, monarki non-absolut, dan kontrol oleh oligarki politik.

Pada tahun 2019, Partai Maju Masa Depan (FFP) yang dipimpin oleh Thanathorn Juangroongruangkit mengejutkan banyak orang dengan keberhasilannya. Partai muda dan progresif ini memiliki ideologi yang berbeda dengan “Merah” dan “Kuning”.

Partai ini kemudian menjadi partai ketiga dengan perolehan suara terbanyak, menyamai Pheu Thai yang merupakan partai penerus Thai Rak Thai Thaksin.

Keberhasilan FFP disebabkan oleh pemilih muda yang kecewa terhadap rezim militer dan tidak mengidentifikasi nilai-nilai “Merah” atau “Kuning”. Namun FFP dibubarkan setahun kemudian karena perubahan konstitusi.

Dari sisa-sisa FFP, lahirlah Partai Maju Maju (MFP) yang dipimpin oleh Pita Limjaroenrat yang kharismatik.

Dengan platform politik progresif, MFP memenangkan pemilu 2023 namun Pita tidak diangkat sebagai Perdana Menteri.

Sebaliknya, Srettha Thavisin dari Partai Pheu Thai, dengan latar belakang yang mirip dengan Thaksin Shinawatra, membentuk koalisi yang mengecualikan MFP dan mendapat dukungan dari senator konservatif.

Masalah bagi Demokrasi?

Pemilu tahun 2023 mengungkapkan dua aspek mendasar: kesenjangan yang semakin lebar antara masyarakat dan mereka yang menikmati kekuasaan, dan krisis keterwakilan yang melanda Thailand.

Partai United Thai Nation yang mewakili Prayuth dan militer hanya memperoleh 15 persen suara, sedangkan Pheu Thai memperoleh 28,84 persen suara dan 141 kursi. Mayoritas pemilih mendukung MFP yang kemudian memperoleh 37,99 persen suara dan 151 kursi.

Hal ini menunjukkan besarnya keinginan masyarakat terhadap perubahan.

Namun, pembubaran MFP kemarin menyoroti sifat hibrid dari rezim Thailand, yang tidak memihak partai progresif maupun oposisi yang tidak mampu menentang status quo.

Pengalaman FFP dan pembubaran MFP baru-baru ini menunjukkan bahwa kemenangan dalam pemilu di Thailand tidak menjamin hak untuk memerintah jika partai tersebut menentang oligarki nasional.

Terdapat masalah sistemik dalam representasi politik yang terus menguntungkan kelompok oligarki dan partai konservatif.

Dengan Paetongtarn sebagai Perdana Menteri dan juga pembubaran MFP, protes sosial mungkin akan meningkat. Hal ini sebagian disebabkan oleh aliansi yang tidak biasa antara Partai Pheu Thai dan kaum konservatif.

Naiknya kekuasaan Paetongtarn juga menandai konfigurasi politik baru di Thailand. Partai Pheu Thai, yang dipimpin oleh keluarga Shinawatra, telah bersekutu dengan partai-partai konservatif dan pro-militer untuk mempertahankan kekuasaan.

Namun, kondisi sosial dan politik Thailand, yang terkena dampak buruk akibat kejadian baru-baru ini, mungkin akan segera memicu ketegangan dan protes baru.

Paetongtarn akan menghadapi tugas sulit untuk menyeimbangkan kebijakan partai-partai konservatif yang membentuk koalisinya.

Kebijakan yang diambilnya mungkin tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat, yang pada pemilu 2023 memilih program Partai Maju Maju (MFP) yang progresif dan reformis.

Pembubaran MFP dan lahirnya partai oposisi baru, Partai Rakyat (PP), merupakan elemen kunci dalam skenario politik masa depan.

PP tampaknya berniat mengikuti garis reformis dan progresif MFP, melanjutkan kampanye hak-hak sipil dan reformasi konstitusi. 2017 Sasaran PP yang masuk adalah revisi Pasal 112 tentang penghinaan terhadap monarki, program yang dibawa MFP. meraih kemenangan pada pemilu 2023.

Di sisi lain, pemerintahan pimpinan Paetongtarn harus menghadapi ketegangan sosial dan kompleksnya warisan nama Shinawatra yang menimbulkan rasa pertentangan yang kuat di masyarakat, terutama kelompok yang terkait dengan “kaos kuning”.

Selain itu, Paetongtarn juga harus menghadapi tantangan internal termasuk pemulihan ekonomi pasca Covid.

(vws)



Exit mobile version