Site icon Pahami

Berita ICW dan IM57 Kritik Johanis Tanak yang Ingin Hapus OTT KPK


Jakarta, Pahami.id

Niat calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi) Johanis Tanak periode 2024-2029 yang ingin menghapuskan Operasi Tangkap Tangan (OTT) menuai kritik tajam dari kelompok masyarakat sipil.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pernyataan Johanis Tanak disampaikan dalam agenda ujian atau uji kesesuaian dan kesesuaian di DPR kemarin, Selasa (19/11), tak lain untuk merebut hati anggota dewan penentu susunan calon pimpinan KPK selanjutnya.

“Dalam pandangan ICW, pernyataan Tanak tersebut tidak lain hanyalah untuk memenangkan hati anggota DPR yang mengujinya, padahal apa yang disampaikannya jelas tidak berdasar dan menyesatkan,” kata Peneliti ICW Diky Anandya saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis. Kamis (20/11).


Diky menegaskan, OTT merupakan senjata ampuh KPK dalam mengungkap kasus korupsi. Kata dia, OTT yang didahului perencanaan diatur dalam hukum acara pidana.

Perlu dipahami bahwa proses penyadapan itu sendiri sebagai suatu proses perencanaan ketika hendak melaksanakan OTT telah diamanatkan secara tegas dalam Pasal 12 ayat (1) UU KPK yang menyatakan ‘Dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud. Pada Pasal 6 huruf e, KPK berwenang melakukan penyadapan,” kata Diky.

Artinya penyadapan tentunya bisa dilakukan sebagai rencana untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana, lanjutnya.

Dia menjelaskan, OTT yang selalu dilakukan KPK merupakan bentuk wujud hasil penyadapan sebagai alat bukti untuk mengungkap tindak pidana dan menangkap pelakunya. Dengan kata lain, lanjutnya, terminologi OTT yang digunakan KPK sama dengan situasi tertangkap basah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP.

Diky mengingatkan Johanis Tanak bahwa sebagian besar keberhasilan KPK bersumber dari kegiatan OTT. Banyak pejabat seperti menteri, ketua DPR, dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang didakwa melakukan operasi senyap ini.

“Jika dia mengatakan ingin menghilangkan OTT sebagai strategi pemberantasan korupsi, maka pernyataan tersebut merupakan bentuk pelemahan kinerja KPK,” kata Diky.

Oleh karena itu, ICW menghimbau kepada anggota DPR untuk tidak memilih calon pimpinan KPK berdasarkan selera subjektif hanya karena calon yang diuji ingin menghilangkan OTT, karena hal tersebut bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, lanjutnya.

Sementara itu, Lembaga Panggilan Indonesia (IM57+) mengaku tak heran dengan niat Johanis Tanak menghapus OTT. Hal ini terkait dengan berbagai catatan potensi etika yang ada sepanjang kepemimpinannya di KPK.

“Dari segi kinerja, minimnya prestasi KPK dalam mengungkap kasus korupsi mencerminkan justifikasi JT (Johanis Tanak) atas apa yang dilakukannya selama di KPK,” kata Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito.

Yang cukup mengkhawatirkan, kata Lakso, pernyataan tersebut dilontarkan ketika lembaga Johanis Tanak, Kejaksaan Agung, mulai melakukan pendekatan OTT (tangan merah) pada berbagai kasus yang dikenal dalam praktik pemberantasan kejahatan di tingkat internasional. skala.

Aneh ketika praktik ini diterapkan dan diadopsi oleh penegak hukum lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah meninggalkannya. Padahal, OTT menjadi pintu gerbang mengungkap kejahatan yang lebih berat, kata Lakso.

Di sisi lain, Lakso menilai keinginan Johanis Tanak menghapus OTT sebagai bukti DPR dan Presiden tidak mengulangi kesalahan dalam memilih calon pimpinan KPK sebelumnya.

Kita masih ingat bagaimana pernyataan kontroversial Firli Bahuri yang dikeluarkan saat rapat umum di DPR lima tahun lalu yang terbukti merugikan pemberantasan korupsi pasca terpilih menjadi Ketua KPK, kata Lakso.

“Kalau DPR juga melakukan hal yang sama maka tidak akan mengejutkan masyarakat. Namun, jika ternyata DPR mewujudkan janjinya untuk mengganti KPK, maka itu akan menjadi warisan pemerintahan Indonesia yang baru,” ujarnya. . dia menekankan.

(ryn/tidak)

Exit mobile version