Site icon Pahami

Berita Hendry Lie Pulang ke Indonesia karena Paspor Mati pada 27 November


Jakarta, Pahami.id

Kejaksaan Agung (Jaksa Agung) kata Bos Sriwijaya Air Henry Leetersangka dalam kasus tersebut korupsi dalam sistem perdagangan timah di wilayah IUP PT Timah 2015-2022, ia harus kembali ke Indonesia karena paspornya telah habis masa berlakunya pada 27 November.

Hendry langsung ditangkap saat tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Senin malam (18/11). Hendry pun langsung ditahan di Rutan Salemba Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan setelah diperiksa sebagai tersangka.


Jadi untuk pulang ke Indonesia, karena yang bersangkutan paspornya akan habis masa berlakunya pada 27 November 2024, kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Abdul Qohar kepada wartawan, Selasa (19/11) pagi.

Qohar mengatakan Hendry tidak bisa melakukan proses perpanjangan paspor karena pihaknya sudah mengirimkan surat pencabutan paspor.

“Tidak bisa dilanjutkan, karena penyidik ​​sudah mengirimkan surat ke Kedutaan Singapura melalui Imigrasi, untuk mencabut paspor yang bersangkutan,” ujarnya.

Qohar mengatakan Hendry sudah tinggal di Singapura sejak Maret 2024. Menurut dia, Hendry mengaku sedang berobat ke Mount Elizabeth Singapura.

“Setelah dilakukan pemeriksaan pertama pada tahap penyidikan, yang bersangkutan tidak kembali karena sedang menjalani perawatan di Singapura, di Mount Elizabeth. Jadi itu jawabannya,” ujarnya.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan 23 orang sebagai tersangka korupsi sistem tata niaga timah di IUP PT Timah. Mulai dari Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin.

Kejaksaan Agung menyebutkan, berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini mencapai Rp 300,003 triliun.

Rinciannya, kelebihan pembayaran sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp2,85 triliun, pembayaran bijih timah ilegal oleh PT Timah kepada mitra sebesar Rp26,649 triliun, dan nilai kerusakan ekologi sebesar Rp 271,6 triliun.

(des/fr)

Exit mobile version