Daftar isi
Jakarta, Pahami.id —
Tajikistan menjadi fokus setelah menerapkan kembali anti-Islam dengan mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab, minggu lalu.
Pemerintah berpendapat bahwa larangan hijab diberlakukan “untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme.”
Ini bukan pertama kalinya Tajikistan menerapkan aturan anti-Islam. Pemerintah sebelumnya melarang laki-laki berjanggut karena dianggap termasuk kelompok radikal.
Aturan anti-Islam ini muncul sejak Emomali Rahmon memimpin Tajikistan mulai tahun 1994. Presiden negara mayoritas Muslim itu ingin Tajikistan menjadi negara sekuler.
Profil Emomali Rahmon
Rahmon bisa dikatakan adalah seorang pemimpin yang secara tidak sengaja menjadi presiden seumur hidup Tajikistan karena dukungan keadaan.
Tajikistan awalnya merupakan republik konstituen Uni Soviet. Sejak tahun 1991, negara ini telah merdeka dan pemilihan umum diadakan secara terus menerus, yang memenangkan Rahmon Nabiyev sebagai presiden pertama negara tersebut.
Nabiyev meraih 57 persen suara pada pemilihan langsung pertama.
Meski sudah merdeka, situasi Tajikistan tidak serta merta stabil. Pemberontakan dan demonstrasi terjadi dimana-mana.
Pada tahun 1992, demonstrasi anti-pemerintah di ibu kota Dushanbe berubah menjadi perang saudara antara pasukan pemerintah, kelompok Islam, dan kelompok pro-demokrasi. Perang tersebut menewaskan 20 ribu orang dan menyebabkan perekonomian Tajikistan ambruk.
Kekacauan tersebut memaksa Nabiyev mengundurkan diri pada September 1992, seperti dikutip Radio Free Europe.
Setelah kepergian Nabiyev, jabatan presiden dihapuskan. Ketua parlemen Tajikistan yang saat itu diduduki Rahmon otomatis menjadi kepala negara de facto.
Rahmon memulai aksinya dengan menindas semua partai oposisi dan meninggalkan Partai Komunis Tajikistan sebagai satu-satunya partai oposisi yang sah di negara tersebut.
Pada tanggal 6 November 1994, Rahmon menjadi presiden setelah memenangkan “pemilu semu”. Tahun itu, ia berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan pemberontak Muslim.
Pada tahun 1997, rezim Rahmon dan kelompok pemberontak United Tajik Opposition (UTO) menyetujui perjanjian damai. Meski memaafkan pihak oposisi, Rahmon dengan tegas mengontrol gerakan oposisi dan pemberontak.
Islam sebagai alat politik
Sejak berkuasa, Rahmon terus berupaya menjadikan Tajikistan sebagai negara sekuler yang bebas dari nilai-nilai agama, khususnya Islam. Pasalnya, ia menilai Islam merupakan ancaman terhadap kepemimpinannya pasca perang saudara melawan UTO sebelumnya.
Meski begitu, Rahmon tetap menggunakan Islam sebagai alat diplomasi, terutama dalam melakukan pendekatan terhadap negara-negara berpenduduk Muslim di Arab.
Bahkan pada tahun 1993, dua minggu sebelum berkunjung ke Arab Saudi, Rahmon bersedia memeluk Islam dan mempelajari agama tersebut. Hasilnya, ia menerima bantuan keuangan jutaan dolar dari negara-negara Arab setelah kunjungan diplomatiknya ke beberapa negara di Timur Tengah.
Meski begitu, Rahmon tetap membatasi pengaruh agama, khususnya Islam, di negaranya. Laporan Kebebasan Beragama Departemen Luar Negeri AS tahun 1997 menyatakan bahwa Rahmon tidak segan-segan mengkampanyekan Islam sebagai ancaman bagi pemerintah dan masyarakat.
Tak hanya Islam, Tajikistan juga membatasi dan mengontrol secara ketat praktik keagamaan lain seperti Kristen dan Yudaisme.
“Pemerintah Tajikistan membatasi semua kegiatan keagamaan bebas yang berada di bawah kendali negara, khususnya kegiatan umat Islam, Protestan, dan Saksi-Saksi Yehuwa. Pemerintah juga memenjarakan individu atas tuduhan pidana yang tidak terbukti terkait dengan kegiatan dan afiliasi keagamaan Islam,” demikian bunyi laporan tahunan Komisi AS. . tentang Kebebasan Beragama Internasional mengenai Tajikstan pada tahun 2013.
Mulai dari teknisi
Rahmon lahir pada tahun 1952 di Oblast Kulob, Uni Soviet. Ia dibesarkan dalam keluarga militer, dimana ayahnya, Sharif Rahmonov, adalah seorang veteran Soviet atau Tentara Merah yang bertempur di Perang Dunia II.
Rahmon muda bertugas sebagai tentara Soviet yang bertugas di kapal induk Soviet di Pasifik pada tahun 1971-1974.
Setelah menyelesaikan pengabdiannya, Rahmon kembali ke kampung halamannya dan bekerja sebagai tukang listrik.
Dia kemudian mengambil jurusan ekonomi di Universitas Nasional Negeri Tajik.
Rahmon mulai merambah dunia politik sekitar tahun 1990 setelah terpilih menjadi wakil DPRD Soviet Tajikistan.
Sejak saat itu, karir Rahmon terus menanjak hingga akhirnya terpilih menjadi presiden hingga saat ini.
(blq/rds)