Jakarta, Pahami.id –
DPR RI dijadwalkan menggelar rapat paripurna untuk pengesahan rancangan undang-undang hukum acara pidana (Rkuhap) menjadi Konstitusi pada Selasa (18/11) besok.
Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurizal mengatakan pimpinan DPR telah menggelar rapat pimpinan dan menjadwalkan pengesahan RKUHAP pada rapat paripurna besok.
Sudah tahap satu, sudah siap, sebelumnya sudah dilakukan dengan rapi, kata Cucun di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/11).
Sebelumnya, Panitia Kerja RKUHAP (PANJA) di Komisi III DPR sepakat RUU tersebut akan dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat pengambilan keputusan Tingkat I di Komisi III DPR, Kamis (13/11). Pertemuan tersebut dihadiri perwakilan pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Wakil Menteri Hukum Edward Sharif Omar Hiariej atau Eddy Hiariej.
Sebanyak delapan atau seluruh fraksi di Komisi III DPR dalam rapat tersebut sepakat RKUHAP segera disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna terdekat.
Sejumlah fraksi solid menilai RKUHAP harus segera diperbarui karena usianya sudah 44 tahun sejak pertama kali disahkan pada tahun 1981 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Ada beberapa perubahan materiil KUHAP melalui peninjauan ini. Antara lain, penyesuaian hukum acara pidana dengan KUHP baru, peningkatan kewenangan penyidik, penyidik, dan penuntut umum, penguatan hak tersangka dan terdakwa, serta penguatan peran advokat.
“Kami meminta persetujuan anggota Komisi III dan Pemerintah apakah naskah RKUHAP dapat dilanjutkan pada pembahasan tahap kedua yaitu pengambilan keputusan atas RKUHAP yang akan diagendakan pada rapat paripurna DPR terdekat, setuju?” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang memimpin rapat.
“Setuju,” jawab peserta rapat serentak.
Koalisi Masyarakat Sipil merasa keberatan karena mereka merasa diuntungkan
Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari beberapa tokoh dan lembaga swadaya masyarakat kekhawatiran Terkait persoalan RKUHAP, ia juga angkat bicara. Dalam jumpa pers bersama, Minggu (16/11), mereka menilai pembahasan RKUHAP masih cacat baik formil maupun materil sehingga diimbau tidak membahasnya di tingkat paripurna sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Jadi kita melihat dari beberapa hal yang kami sebutkan, materinya masih sangat bermasalah, oleh karena itu kami menghimbau kepada Presiden RI untuk mengingatkan pembentuk undang-undang, mengingatkan perwakilan pemerintah yang membahas RUU Kuhap untuk menghentikan proses pembahasannya, kata Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Ylbhi) Arif Maulana.
Tak hanya itu, beberapa elemen koalisi juga merasa dimanfaatkan oleh para pembuat undang-undang, padahal apa yang disampaikan tidak mencerminkan masukan dari masyarakat sipil.
Permasalahan yang disebutkan ARIF antara lain menyoroti proses rapat Panitia Kerja (PANJA) RUU Kuhap yang akan berlangsung pada 12-13 November 2025.
Dalam rapat tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan terhadap pasal tersebut yang disebut berasal dari masukan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Ylbhi, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Organisasi Ikatan Peneliti Indonesia (IJRS), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Pertama, dalam Panja yang bertemu pemerintah dan Komisi III DPR RI memaparkan beberapa pasal yang diklaim merupakan masukan dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi, ujarnya.
Namun beberapa masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tersebut ternyata tidak tepat bahkan memiliki perbedaan materi yang signifikan dengan masukan yang kami berikan melalui berbagai jalur, antara lain melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) atau melalui penyampaian rancangan tandingan RUU Kuhap atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan pemerintah, lanjutnya.
Oleh karena itu, mereka menilai rapat Panitia Kerja RKUHAP merupakan orkestra kebohongan yang memberikan kesan bahwa DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang telah menampung masukan.
“Sebenarnya ini adalah sebuah bentuk manipulasi yang berarti Dengan mencantumkan pasal-pasal bermasalah yang mengatasnamakan koalisi atau organisasi masyarakat sipil,” ujarnya.
Selain itu, kombinasi tersebut juga menyoroti pembahasan RKUHAP yang sangat singkat dan tidak stabil. Pembahasan terkini disebut tidak menunjukkan perubahan dibandingkan draf pada Juli 2025.
Koalisi ini mengeluarkan panggilan terbuka kepada Presiden, DPR, Kementerian Hukum, dan Kementerian Sekretariat Nasional.
(anak/thr/anak)

