Jakarta, Pahami.id —
perempuan dan beberapa aktivis perempuan di seluruh dunia Kenya menggelar demonstrasi besar-besaran pada Sabtu (27/1). Mereka memprotes pembunuhan perempuan baru-baru ini di negara tersebut.
Protes berskala nasional yang dijuluki “Pawai Feminis Melawan Femisida”, terjadi di 11 kota yaitu Nairobi, Mombasa, Kisumu, Nakuru, Eldoret, Homabay, Turkana, Kilifi, Machakos, Kisii dan Nyeri.
Protes tersebut diadakan menyusul serangkaian pembunuhan mengerikan terhadap perempuan Kenya dalam sebulan terakhir. Secara total, 16 perempuan terbunuh selama periode tersebut.
Menurut Majelis Umum Dewan Hak Asasi Manusia PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilatarbelakangi oleh kebencian, balas dendam, penaklukan, penguasaan, kesenangan dan memandang perempuan sebagai properti sehingga mereka dapat berbuat sesukanya.
Seperti dilansir kantor berita Kenya, Bangsa Harian, pembunuhan salah satunya dialami oleh seorang wanita bernama Starlet Wahu (26). Dia dibunuh secara brutal di sebuah apartemen di Nairobi pada 3 Januari.
Rita Waeni (20), siswi tahun pertama, juga tewas mengenaskan di apartemennya di Nairobi pada 14 Januari.
Dua kejadian di atas ibarat ‘puncak gunung es’ dari berbagai kasus femisida di Kenya beberapa waktu terakhir.
Pada tahun 2018, seorang mahasiswa Universitas Rongo bernama Sharon Otieno ditemukan tewas di hutan kota Oyugis, Teluk Homa. Dia dilaporkan adalah pacar Gubernur Kabupaten Migori Okoth Obado.
Kemudian pada tahun 2019, seorang mahasiswa kedokteran, Ivy Wangeci, dibacok hingga tewas oleh seorang pria yang terdampar di Eldoret.
Pada tahun 2020, Eunice Wangari terlempar dari balkon lantai 12 di Nairobi. Pelari Olimpiade kenamaan, Agnes Tirop, juga ditikam hingga tewas oleh suaminya pada tahun 2021.
Studi yang dilakukan UN Women menunjukkan bahwa Afrika menjadi negara dengan jumlah pembunuhan pasangan dan keluarga tertinggi di dunia dengan perkiraan 20 ribu korban.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Africa Data Hub memperkirakan bahwa akan ada sekitar 500 perempuan korban pembunuhan antara tahun 2016 dan 2024 di Kenya.
Kasus pembunuhan terhadap perempuan terus terjadi meskipun terdapat mekanisme hukum nasional dan internasional yang kuat di Kenya untuk memberantas kejahatan keji ini.
Ilustrasi. Perempuan di Kenya melakukan demonstrasi besar-besaran menentang pembunuhan perempuan pada Sabtu (27/1). (AP/Brian Ingata)
|
Konstitusi Kenya tahun 2010 menjamin bahwa hak-hak perempuan dan anak perempuan dilindungi berdasarkan Pasal 27. KUHP Kenya juga mengatur hukuman atas kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Meskipun ada peraturan, mayoritas pelaku kekerasan terhadap pasangan dan kejahatan terhadap perempuan di Kenya tidak menerima hukuman yang pantas.
Situasi ini mendorong perempuan dan sejumlah aktivis untuk melakukan gerakan melawan femisida. Gerakan ini dimulai pada tahun 2019.
Demonstrasi ini merupakan gerakan yang dilakukan perempuan Kenya untuk menolak kejahatan dan ketidakadilan terhadap perempuan di negara tersebut.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, juga mendukung demonstrasi tersebut.
“Kami menyerukan kepada seluruh warga Kenya untuk keluar dan bersuara menentang meningkatnya kekerasan yang melanggar hukum internasional dan Kenya, serta menimbulkan ancaman nyata terhadap kehidupan perempuan dan anak perempuan,” demikian bunyi pernyataan Amnesty International.
(blq/asr)
!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);
fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);