Site icon Pahami

Berita Bagaimana Nasib Iran setelah Trump Bakal Jadi Presiden AS Lagi?


Jakarta, Pahami.id

Hubungan Amerika Serikat dengan Iran menjadi sorotan, setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden pada Rabu (6/11).

Trump muncul sebagai pemenang Pilpres AS setelah berhasil meraih suara terbanyak sekaligus mengumpulkan electoral vote di atas ambang batas minimum yang ditetapkan.


Lantas, apa jadinya Iran setelah Trump kembali menjadi Presiden AS?

Trump akan melarang senjata nuklir Iran

Secara umum, hubungan Amerika Serikat dan Iran tidak harmonis. Pasalnya, AS merupakan salah satu negara yang vokal menentang kebijakan pengembangan nuklir negaranya.

Saat masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 hingga 2020, Donald Trump juga merupakan salah satu pemimpin dunia yang paling vokal menentang kebijakan pengembangan nuklir Iran.

Pada tahun 2018, Trump menarik AS dari perjanjian pengembangan nuklir dengan Iran.

Saat itu, AS sebenarnya menentang kebijakan nuklir negara mayoritas Muslim Syiah. Sebab, Trump saat itu menganggap pengembangan senjata nuklir Iran dapat membahayakan keamanan global.

Pakar Kebijakan Nuklir dan Keamanan Timur Tengah Universitas Princeton, Sayyid Hossein Mousavian, mengatakan Trump akan lebih vokal dalam penentangannya terhadap program nuklir Iran setelah ia terpilih sebagai presiden.

Selain itu, menurut Mousavian, Trump juga akan lebih vokal menentang serangan Iran terhadap Israel. Sebab, Trump dalam kampanyenya berjanji akan meredakan konflik di Timur Tengah, termasuk konflik Israel dan Iran yang kini mencapai titik eskalasi.

“Trump mempunyai kesempatan untuk mengakhiri perang Israel di Gaza dan Lebanon dan mengekang konfrontasi militer antara Israel dan Iran,” tulis Mousavian dalam artikel opininya yang diterbitkan. Mata Timur Tengah pada Kamis (6/11).

Normalisasi hubungan dengan negara-negara Barat

Lebih lanjut, menurut Mousavian, Donald Trump juga akan mendorong Iran untuk menormalisasi hubungannya dengan AS dan negara-negara Barat.

Sebab, kata dia, stabilitas di kawasan Timur Tengah tidak hanya memerlukan hubungan yang harmonis antara Iran dan negara-negara di Timur Tengah, tetapi juga memerlukan keharmonisan antara Iran dan negara-negara Barat.

“Stabilitas dan keamanan di Timur Tengah memerlukan diakhirinya permusuhan yang sedang berlangsung antara Iran dan dunia Barat,” tulis Mousavian.

Apalagi AS juga memiliki NATO yang akan selalu membantunya membendung Iran jika negara tersebut ‘mengacaukan’ kemampuan nuklirnya.

Namun, desakan Trump agar Iran menormalisasi hubungannya dengan negara-negara Barat tidaklah mudah. Pasalnya Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Ali Khamenei telah berjanji tidak akan berdamai dengan Barat.

Menurut Khamenei, perdamaian dengan Barat hanya akan menjerumuskan Iran ke dalam lembah kesengsaraan.

“Tidak akan ada perundingan dan perang. Bernegosiasi dengan orang-orang yang mengingkari janji, yang mengingkari komitmen, dan tidak berkomitmen pada apa pun. Mereka (negara-negara Barat) tidak berkomitmen terhadap moral, hukum, konvensi internasional, dan apa pun,” kata Khamenei.

Oleh karena itu, menurut pantauan Mousavian, Trump memang perlu bekerja lebih keras agar Iran tunduk pada AS.

Trump benar-benar harus membuat Iran mau menormalisasi hubungan dengan negara-negara Barat yang selama ini mereka anggap musuh bebuyutan.

(gas/dna)



Exit mobile version