Nomor tawanan Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia mempunyai peluang untuk dipindahkan ke negara asalnya atas permintaan pemerintah masing-masing.
Pertama adalah terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso. Mary Jane, yang hukuman matinya ditangguhkan pada tahun 2015, dikatakan sedang bersiap untuk dipindahkan ke negara asalnya.
Belakangan, dalam perbincangan antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese di luar KTT APEC di Peru, mereka sepakat untuk memindahkan narapidana narkoba Bali Nine ke Australia.
Belakangan, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia Imipas Yusril Ihza Mahendra mengakui ada permintaan serupa dari Prancis untuk memindahkan warganya yang terbukti melakukan tindak pidana di Indonesia.
Lalu bagaimana kelanjutan hukuman bagi narapidana? Yusrli mengatakan, hal itu tergantung negara yang terlibat.
Ia mencontohkan, pada kasus Mary Jane yang divonis hukuman mati di Indonesia, tidak menutup kemungkinan Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi penjara seumur hidup.
“Karena hukuman mati telah dihapuskan dalam KUHP Filipina, maka langkah tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden Filipina,” kata Yusril dalam keterangannya, pekan lalu.
Sejumlah pakar hukum menilai langkah ‘pemindahan narapidana’ ke negara asal yang dilakukan pemerintahan Prabowo Subianto bisa menjadi upaya memperbaiki hubungan antar negara, khususnya di bidang penegakan hukum.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, selama ini hubungan Indonesia dengan beberapa negara terganggu akibat penerapan hukuman mati. Banyak negara yang menolak membantu Indonesia dalam kejahatan transnasional karena mereka menjatuhkan hukuman mati kepada warga negaranya.
Nomor satu, dari segi hukum, ini (pemindahan tahanan) sangat baik karena akan meningkatkan hubungan kita dengan negara-negara tersebut, kata Erasmus saat dihubungi. CNNIndonesia.comSenin (25/11).
Dengan kebijakan tersebut, dia berharap Indonesia mempunyai kesempatan untuk menindak pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain. Pemerintah juga mempunyai kesempatan untuk menyelidiki dokumen atau aset hasil korupsi yang dibawa ke negara-negara tersebut.
Meski demikian, Erasmus memberikan beberapa catatan untuk pemerintahan Prabowo. Pertama, potensi kendala akibat perbedaan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan negara lain.
Ia mencontohkan kasus Mary Jane yang divonis hukuman mati. Erasmus mengingatkan Filipina bahwa mereka tidak mematuhi hukuman mati.
Kepindahan Jane akan menjadi masalah. Alasannya, Filipina tidak bisa melaksanakan keputusan Indonesia terkait hukuman mati. Dia mengatakan satu-satunya cara adalah mengubah kalimat Jane.
Saran saya, kalimatnya diubah dulu. Jadi Presiden mohon ampun, ubah kalimatnya, baru diubah, ujarnya.
Menurut Erasmus, hal itu bisa dilakukan melalui Pasal 69 KUHP baru. Lalu ada peraturan menteri tentang remisi khusus.
Catatan kedua adalah penyaringan terhadap narapidana yang berhak dipindahkan ke negara asal dengan menggunakan asas kriminalitas ganda. Erasmus mengatakan, pemerintah harus memastikan narapidana memenuhi unsur pidana di kedua negara.
“Kalau di sana tidak ada kejahatan, jangan dipindahkan. Sebaliknya di sini tidak ada kejahatan, di sana ada kejahatan, lalu kita pindahkan, itu tidak boleh,” ujarnya.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, justru menyatakan ketidaksetujuannya terhadap langkah pemerintahan Prabowo yang memindahkan narapidana asing yang dijatuhi hukuman ke Indonesia. Ia menegaskan, undang-undang tidak memberikan jalan untuk hal tersebut.
Hikmahanto menjelaskan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik pada pasal 4 huruf c menyebutkan bantuan hukum timbal balik tidak memberikan kewenangan pemindahan narapidana.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penahanan, pasal 45 ayat (1) menyebutkan, dalam hal tertentu narapidana dapat dipindahkan ke negara lain berdasarkan perjanjian. Namun pada ayat berikutnya diatur bahwa hal itu harus diatur dalam undang-undang baru.
Masalahnya, sampai saat ini belum ada undang-undang tentang pemindahan narapidana. Belum lagi tidak ada kesepakatan sama sekali antara Indonesia dan negara lain mengenai pemindahan narapidana, kata Hikmahanto saat dihubungi. CNNIndonesia.comSenin (25/11).
Hikmahanto tidak sependapat dengan kebijakan transfer Mary Jane dkk. untuk meningkatkan hubungan antar negara. Menurutnya, masih banyak cara lain yang bisa ditempuh.
Pemindahan narapidana, kata Hikmahanto, justru akan berdampak buruk bagi Indonesia. Menurutnya, hal tersebut berpotensi menghancurkan supremasi hukum di Indonesia.
Apalagi petugas pemasyarakatan akan berada pada situasi yang berpotensi melanggar tugasnya dengan melepaskan narapidana yang tidak berdasarkan hukum, ujarnya.