Jakarta, Pahami.id —
Jaringan grup Jama’ah Islamiyah (JI) yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) resmi menyatakan pembubarannya. Sebanyak 153 mantan anggota dinyatakan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pencanangan pembubaran digelar di Hotel LPP Garden, Depok, Sleman yang difasilitasi Densus Mabes Polri 88, Sabtu (31/8).
Melalui pernyataan yang dibacakan bersama, mereka mendukung pembubaran JI yang dilakukan masyarakat atau guru di Sentul, Bogor, 30 Juni lalu.
Mereka menyatakan siap kembali ke pangkuan NKRI, terlibat aktif dalam mewujudkan kemerdekaan, dan menjauhkan diri dari ideologi tatharruf atau kelompok ekstremis.
“Bersiaplah untuk mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkomitmen dan konsisten dalam melaksanakan hal-hal yang mempunyai akibat logis,” ujarnya.
Ratusan mantan anggota kemudian menyanyikan lagu Untukmu Negara bersama.
Deka, mantan tokoh JI DIY yang mewakili ratusan mantan anggota lainnya, juga meminta maaf kepada pemerintah karena diganggu aktivitas mereka.
Permintaan maaf juga disampaikan kepada Gubernur DIY dan Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
“Kami juga mohon maaf kepada Sinuwun, Sri Sultan Hamengku Buwono, kami ingin kembali menjadi anggota komunitas Jogja yang siap rendah hati“Toleransi siap dibimbing, dikembangkan agar kita menjadi masyarakat yang sejalan dengan cita-cita bangsa ini,” kata Deka.
Mantan Ketua Dewan Fatwa JI Imtihan Syafii mengatakan, deklarasi di DIY merupakan bentuk dukungan terhadap pembubaran JI di Sentul, Bogor, akhir Juni lalu.
Sejak pemerintah menyatakannya sebagai organisasi terlarang, JI mencapai titik balik. Setelah melalui serangkaian kajian dan penilaian diri, para senior di organisasi tersebut menyadari bahwa terdapat kesalahan dalam pengetahuan mereka selama ini.
“Ketika kita menemukan ada kesalahan, kita harus jujur dengan ilmunya dan siap mengubah pandangan. Jadi, kita para senior sekarang mengambil kesimpulan bahwa kita harus berubah dari ijtihad yang ada antara kegiatan yang sebenarnya tidak langsung, tapi berpotensi untuk ditangani secara tidak langsung, bahkan cenderung menimbulkan kerugian, kata Imtihan.
Imtihan mencontohkan, kasus bom Bali atau mutilasi tiga siswi di Poso pada tahun 2000-an tidak terjadi atas perintah, izin, atau fatwa pengurus JI. Namun hal tersebut merupakan pemahaman berlebih yang disalah artikan oleh beberapa member dibawah ini. Ia mengklaim para petinggi juga melarang anggota yang berinisiatif mengambil tindakan di luar program organisasi.
Oleh karena itu, agar kita bisa terus berbuat baik sesuai perintah Allah, salah satu yang kita lakukan adalah dengan membubarkannya, sehingga ketika ada yang melakukannya, maka tidak bisa lagi dijadikan amal JI. Itu hanya salah satu saja. mereka,” katanya.
Imtihan berharap pemerintah setelah ini tetap mau terlibat dalam menjadikan mantan anggota JI sebagai warga negara yang baik, serta mempersempit kesenjangan yang ada.
Arif Siswanto, senior JI lainnya mengatakan, pihaknya tidak ingin anak kandungnya atau ideologinya terkucil dari proses utama di negara dan negara.
Masyarakat mungkin meragukan kepindahan mantan JI, namun ia berharap tidak ada perundungan dari masyarakat yang justru membuat mantan anggotanya berpaling dari NKRI.
“Kami sungguh ikhlas, itu semua akan dibuktikan dari waktu ke waktu,” tegasnya.
Pencanangan pembubaran JI sendiri dilakukan di 29 provinsi dengan total diikuti sekitar 80 persen dari kurang lebih enam ribu anggota di seluruh Indonesia. Arif mengatakan, keikutsertaan mantan anggota merupakan wujud kejujuran dan panggilan dari masing-masing individu.
“Sebenarnya hubungan ketaatan sudah tidak ada lagi, karena struktur organisasinya sudah tidak ada lagi. Maksudnya panggilan hati masya Allah, tapi ada juga satu dua yang ragu, tetap mempertahankan prinsip lama, kalaupun ada. Kalau angkanya segitu, tidak perlu khawatir,” tutupnya.
(kum/sur)