Pahami.id – Berakhirnya pandemi Covid-19 tidak selalu menjadikan dunia normal. Masalah baru yang tidak terduga muncul dalam perekonomian dunia, seperti gangguan rantai pasok, gangguan pasokan, gangguan distribusi barang dan jasa. Akibatnya, inflasi di beberapa negara besar meningkat signifikan, cenderung tidak terkendali dan liar.
Misalnya di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Kecenderungan kenaikan inflasi terus berlanjut dan sejalan dengan peningkatan konflik dunia. Akibatnya, gangguan pasokan dan produksi semakin meluas, krisis energi dan pangan semakin parah, menyebabkan inflasi semakin tak tertahankan. Dalam empat puluh tahun terakhir, inflasi AS dan Eropa telah memecahkan rekor tertinggi, masing-masing sekitar 9% yoy (Juni 2022) dan 10% yoy (Oktober 2022).
Kepala Ekonom dan Direktur Utama BRI Research Institute Anton Hendranata menjelaskan, inflasi yang sangat tinggi dan tidak terkendali direspon dengan kenaikan suku bunga acuan yang agresif dan signifikan oleh beberapa bank sentral di dunia yang dipimpin oleh AS, disusul oleh Eropa. dan sebagian besar negara lainnya.-negara berkembang. Akibatnya, ekonomi global menghadapi risiko besar.
“Antibiotik dengan suku bunga tinggi selama lebih dari dua tahun berhasil mematahkan tren kenaikan inflasi, inflasi mulai menurun pada level terbatas. Namun, dampak buruknya lebih mengkhawatirkan, yaitu ekonomi global berada di ambang resesi. Suku bunga yang tinggi membebani perekonomian dunia dan dunia usaha, serta secara signifikan menurunkan daya beli masyarakat. Beban bunga pinjaman yang tinggi melanda sektor riil, perbankan, dan debitur, termasuk individu masyarakat yang sangat bergantung pada kartu kredit,” ujar Anton.
Contoh nyata dari masalah ini telah dibuktikan melalui runtuhnya tiga bank AS yaitu Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank dan First Republic Bank. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan Federal Reserve AS yang signifikan dari 0,25% menjadi 5%. Selain itu, tingginya suku bunga acuan AS menyebabkan suku bunga KPR naik, yang kemudian menyebabkan suku bunga pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) turun signifikan.
“Penurunan kinerja sektor real estate AS harus disikapi dengan hati-hati, karena pertumbuhan investasi tetap residensial swasta turun signifikan, mendekati kondisi yang mirip dengan krisis keuangan global 2009,” lanjutnya.
Konsekuensi lainnya adalah kurva imbal hasil obligasi AS (US Treasuries) kini telah terbalik, di mana imbal hasil obligasi AS 2 tahun lebih tinggi daripada obligasi 10 tahun. Terlebih lagi, berdasarkan perhitungan model Econometric yang dibangun menggunakan metode Markov Switching Dynamic Model pada Juli 2022, menunjukkan bahwa kemungkinan AS mengalami resesi ekonomi pada 2023 sebesar 80%. Angka probabilitas ini meningkat secara signifikan sembilan bulan kemudian (April 2023) menjadi 91%.
“Melihat situasi yang semakin sulit di AS dan bangkrutnya tiga bank di AS. Saya pikir kita harus pintar tentang itu. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk bahwa AS akan jatuh ke dalam resesi ekonomi yang mungkin akan diikuti oleh Eropa, bahkan ada kemungkinan resesi akan lebih cepat dari AS. Ketika negara maju mengalami resesi, sulit bagi negara berkembang untuk menghindari resesi ekonomi global. Selain itu, dari sisi kebijakan moneter, menaikkan suku bunga acuan secara signifikan sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan AS, guna menjaga stabilitas nilai mata uang terhadap dolar AS,” lanjut Anton.
Kendati demikian, Anton meyakinkan masyarakat Indonesia untuk tidak panik dengan situasi ini. Bahkan, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan global 2008/2009 (KKG 2008/2009). Saat itu, Indonesia hanya mengalami perlambatan ekonomi namun tidak terseret resesi. Perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh positif sebesar 4,6% pada tahun 2009 dari 6% pada tahun 2008.
Padahal pada tahun itu, krisis ekonomi yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman Brothers Bank memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan runtuhnya SVB, Signature Bank, dan First Republic Bank tahun ini. Kemudian indikator persepsi risiko yang diwakili oleh credit default swaps (CDS) dari lima bank besar AS (Bank of America, Citi Group, JP Morgan, Wells Fargo, dan Morgan Stanley) melonjak signifikan selama runtuhnya Lehman Brothers. Artinya, kecemasan dan ketakutan akan runtuhnya Lehman Brothers (GFC 2008/09) ternyata jauh lebih tinggi daripada runtuhnya SVB dan lainnya.
“Fakta-fakta tersebut telah membuka pikiran kita, bahwa jika AS mengalami resesi pada tahun 2023, dampak negatifnya kemungkinan besar tidak separah krisis ekonomi global tahun 2008/09. Indonesia akan jauh dari pusat resesi ekonomi global pada 2023. Basis ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dan kuat dibanding 15 tahun lalu, saat resesi ekonomi global 2008/09,” ujar Anton.
Anton melanjutkan, keyakinan tersebut diperkuat dengan perhitungan yang telah dibangun BRI pada Juli 2022 yang menggunakan Markov Switching Dynamic Model. Ini menunjukkan bahwa jika AS mengalami resesi ekonomi pada tahun 2023, kemungkinan Indonesia mengalami resesi ekonomi hanya 2 persen. Angka tersebut sama persis dengan konsensus Bloomberg untuk April 2023.
Lebih lanjut, Anton menyarankan berbagai pihak untuk memperkuat kekuatan domestik perekonomian Indonesia di antaranya dengan mengoptimalkan pemanfaatan rumah tangga sebagai penggerak utama perekonomian. Di sisi lain, pemerintah harus mampu menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah dan menggerakkan ekonomi lokal/daerah melalui stimulus fiskal seperti Bantuan Sosial (Bansos), Perlinsos, dana desa, dll.
“Pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia perlu diberdayakan dan dibantu secara bertahap dan berkesinambungan terutama dalam hal pembiayaan dan pemberdayaan. Skema KUR yang tepat sasaran dan subsidi bunga yang efektif, mendorong inklusi keuangan, dan literasi keuangan akan menjadikan UMKM lebih mandiri dan berdaya saing. Ketika UKM kuat, Indonesia akan kuat menghadapi badai resesi ekonomi global,” pungkasnya.