Pahami.id – Isu konflik Laut Cina Selatan menjadi salah satu topik perdebatan sengit antar calon presiden pada debat Pilpres 2024 yang berlangsung kemarin, Minggu (7/1) di Istora Senayan, Jakarta.
Ketiga calon presiden, Anies, Prabowo, dan Ganjar saling bertukar argumen terkait isu Laut Cina Selatan. Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menegaskan, Indonesia perlu memiliki pertahanan yang kuat menghadapi konflik ini.
“Jadi situasi di Laut China Selatan menggarisbawahi bahwa kita membutuhkan kekuatan pertahanan yang kuat, kita membutuhkan platform untuk patroli, kita membutuhkan satelit, kita membutuhkan banyak satelit, dan untuk itu kita perlu membangun pertahanan,” kata Prabowo.
Jawaban yang disampaikan Prabowo menanggapi pernyataan Ganjar yang menawarkan tiga solusi untuk menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan.
“Usulan kami sangat jelas dan jelas apa yang dimaksud dengan perjanjian, insentif, dan inisiatif sementara agar kita terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan,” kata Ganjar menjawab pertanyaan panelis terkait geopolitik Laut Cina Selatan.
Sementara itu, Anies mengatakan, Indonesia perlu memimpin negara-negara ASEAN dalam menghadapi ancaman konflik multinasional di kawasan Laut Cina Selatan.
Jawaban Pak Ganjar tidak mengandung satu kata pun dari kata ASEAN, padahal kata kunci dalam resolusi itu adalah ASEAN, dan Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN, pendiri ASEAN, kata Anies.
Lalu bagaimana awal mula konflik Laut Cina Selatan?
Wilayah Laut Cina Selatan meliputi perairan dan daratan dua pulau besar, Spratly dan Paracel, serta tepian Sungai Macclesfield dan Scarborough Reef, yang membentang luas dari Singapura mulai dari Selat Malaka hingga Selat Taiwan. .
Mengutip buku berjudul ‘KONFLIK LAUT CHINA SELATAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP WILAYAH’ pesanan P3DI, Sekjen DPR RI dan Azza Graphics mengatakan, Laut China Selatan sudah lama meluas. Laut telah menjadi sasaran konflik antar negara.
Beberapa negara, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif untuk saling mengklaim, atas sebagian atau seluruh wilayah perairan tersebut. Indonesia yang bukan merupakan negara pengklaim terlibat setelah muncul klaim absolut RRT atas perairan Laut Cina Selatan pada tahun 2012.
Jauh di masa lalu, para pelaut Eropa, laut ini disebut Laut Cina Selatan, atau Laut Cina Selatan.
Pelaut Portugis, orang Eropa pertama yang mengarungi kawasan ini dan juga memberinya nama, menyebutnya Mar da China, atau Laut China.
Mereka kemudian mengubahnya menjadi Laut Cina Selatan. Begitu pula dengan Organisasi Hidrografi Internasional yang menyebutnya sebagai Laut Cina Selatan, atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam bahasa Cina.
Yang lebih penting lagi, Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA).
Konflik antar negara yang melibatkan klaim kepemilikan bersama atas pulau-pulau di sana (claimant states) baru muncul pada tahun 1970an, dan terulang kembali pada tahun 80an, 90an, dan 2010an.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa di masa lalu, para penguasa tradisional Tiongkok (China) dan Vietnam, serta negara-negara yang hadir dan tidak terlibat dalam klaim bersama tersebut, pernah terlibat dalam perebutan penguasaan wilayah perairan di sana.
Kekayaan potensi Laut Cina Selatan yang sedang dieksplorasi baru-baru ini mengungkapkan kepada dunia bahwa Kepulauan Paracel dan Spratly mungkin memiliki cadangan Sumber Daya Alam (SDA) yang besar, terutama mineral, minyak bumi, dan gas alam.
Pemerintah RRT sendiri sangat optimis dengan potensi sumber daya alam di sana melalui penelitian yang terus dilakukan.
Berdasarkan laporan American Energy Information Administration (EIA), RRT memperkirakan terdapat 213 miliar barel cadangan minyak di sana, atau sekitar 10 kali lipat cadangan nasional Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, para ilmuwan AS memperkirakan terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di Laut Cina Selatan.